Site Feed SOSIOLOGI AGAMA UIN: May 2008

Thursday, May 22, 2008

Konflik, Dilema Umat Islam

Konflik, Dilema Umat Islam

16-April-2007

Akhir-akhir ini hampir tiada hari tanpa berita yang terkait dengan teror dan bom bunuh diri, khususnya di negara berpenduduk mayoritas Muslim. Realitas itu menguatkan asumsi Barat bahwa Islam adalah agama teror dan kekerasan. Di tengah merebaknya aksi kekerasan dan konflik di negeri-negeri Muslim, mayoritas umat Islam berada dalam kemiskinan dan keterbelakang. Kini, konflik, kemiskinan, dan keterbelakangan menjadi persoalan utama umat Islam hampir di seluruh negara. Di letak Islam sebagai ”agama yang unggul” ketika realitas umat seperti itu? Berikut perbincangan Reporter CMM David K. Alka dengan Bambang Pranowo, Guru Besar Sosiologi Agama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan juga Staf Ahli Menteri Pertahanan dan Keamanan RI beberapa waktu lalu:

Bagaimana Anda melihat perkembangan konflik di Timur Tengah saat ini?
Di sini kita melihat dilema paling besar: di Irak, orang Sunni menghadapi dilema yang sulit. Membantu Sunni artinya membantu pemberontak dan melemahkan AS. Sedang membiarkan Syiah berkuasa, orang-orang Sunni menjadi bulan-bulanan pembantaian orang Syiah. Di pihak lain, Iran pun mengalami dilema yang sama di Irak. Membantu Syiah, artinya mendukung pemerintahan boneka AS di Irak. Sedangkan membantu Sunni sama dengan membantu orang-orang yang membom masjid paling suci bagi umat Syiah.

Melihat persoalan tersebut, jelas amat ruwet dan kompleks. Dua mazhab besar Sunni dan Syiah saling berhadapan di satu sisi; sementara di sisi yang lain, negara-negara Arab dan Iran saling berhadapan. Dalam kondisi yang serba kompleks, tampaknya AS akan memilih “menghancurkan” Iran dengan alasan Negeri Mullah itu sedang membuat bom atom melalui reaktor nuklirnya yang tersembunyi. Jika terjadi peperangan antara AS dan Iran, siapa yang paling beruntung?

Islam itu tinggi dan tidak ada yang mengungguli ketinggian Islam (al-Islaamu ya’lu walaa yu’la ‘alaih). Jika dikaitkan dengan kehidupan umat sekarang, bagaimana makna hadis itu?
Jika kita melihat realitas kehidupan umat di negeri-negeri Muslim kemudian dibandingkan dengan kondisi kehidupan di negeri-negeri non-Muslim tampak jelas kondisi umat Islam yang jauh dari posisi ‘unggul’ tersebut. Di berbagai belahan dunia ada beberapa ciri umat Islam yang khas. Pertama miskin, kedua terbelakang (untuk tidak mengatakan bodoh) dan ketiga diliputi ketidak-adilan. Yang terakhir inilah yang sering memicu konflik internal di negara-negara Islam sehingga mengakibatkan banyak pemerintahan Islam bersikap totaliter. Oleh sebab itu beberapa negara di Timur Tengah justru dikenal sebagai negara-negara yang tidak mengedepankan keadilan dalam pemerintahannya.

Mengapa negara-negara yang berpenduduk mayoritas Muslim dilanda kemiskinan?
Ini pun satu persoalan yang sulit dipecahkan. Padahal kenyataannya, 75 persen sumber minyak bumi dunia berada di “perut” negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim, tapi nasib penduduk umat Islam sendiri amat memprihatinkan. Salah satu penyebabnya adalah tidak terdistribusikannya kekayaan negara terhadap penduduk secara adil. Tidak adanya transparansi dan sistem pemerintahannya yang tidak demokratis menjadikan kekayaan negara hanya dinikmati kelompok elit tertentu.

Dari data-data yang Anda peroleh, sejauhmana kaitannya dengan hal tersebut?
Freedom in the World 2000: The Democracy Gap, mengungkapkan dari 192 negara yang ada di dunia saat ini, 121 di antaranya sudah berpemerintahan demokratis. Sedangkan di negara-negara yang mayoritas penduduknya Muslim, yang jumlahnya 47 negara, hanya 11 yang pemerintahannya demokratis. Ini berarti hanya 23% negara-negara Islam yang pemerintahannya transparan dan akuntabel. Sementara dari 145 negara-negara bukan Muslim, 110 (76%) pemerintahanya sudah demokratis. Gambaran ini menunjukkan bahwa di dunia non-Islam prosentase negara-negara yang demokratis tiga kali lipat lebih banyak dibanding di dunia Islam. Gambaran ini cukup menunjukkan kredibilitas dan akuntabilitas negara Islam terhadap rakyatnya. Ini pasti mempunyai dampak lanjutan, yaitu pada pemerataan kesejahteraan dan pendidikan rakyatnya.

Apa jaminan dari sebuah pemerintahan yang demokratis bagi umat Islam?
Pemerintahan demokratis memang bukan satu-satunya alat ukur untuk mengetahui kredibilitas dan akuntabilitas sebuah negara. Namun, sejauh ini, kadar demokrasi sebuah negara—kata Amartya Sen, pemenang Nobel Ekonomi—bisa menjadi ukuran tingkat penyelenggaraan keadilan ekonomi sebuah negara. Sayangnya, negara-negara Islam belum menunjukkan hal itu. Akibat tidak terselenggaranya keadilan ekonomi dan politik, maka kemiskinan dan konflik politik pun merebak. Tragisnya, biasanya konflik politik itu muncul berbarengan dengan pincangnya distribusi ekonomi. Di negara Islam seperti Bangladesh, Jibouti dan Sierra Leon misalnya, konflik internal akibat meluasnya kemiskinan bercampur dengan konflik politik. Dampaknya rakyatlah yang menjadi korban. Di negara-negara kaya seperti Arab Saudi dan Kuwait, misalnya, konflik itu muncul lebih bersifat politis. Namun akibatnya sama: negara tidak stabil. Atau kalau kelihatannya stabil, kestabilannya adalah semu. Itulah yang terjadi pada dunia Islam.(CMM)



artikel ini di kutip dari http://www.cmm.or.id/cmm-ind_more.php?id=A4187_0_3_0_M