Site Feed SOSIOLOGI AGAMA UIN: December 2007

Monday, December 17, 2007

Konflik, Dilema Umat Islam

Konflik, Dilema Umat Islam
16-April-2007
Akhir-akhir ini hampir tiada hari tanpa berita yang terkait dengan teror dan bom bunuh diri, khususnya di negara berpenduduk mayoritas Muslim. Realitas itu menguatkan asumsi Barat bahwa Islam adalah agama teror dan kekerasan. Di tengah merebaknya aksi kekerasan dan konflik di negeri-negeri Muslim, mayoritas umat Islam berada dalam kemiskinan dan keterbelakang. Kini, konflik, kemiskinan, dan keterbelakangan menjadi persoalan utama umat Islam hampir di seluruh negara. Di letak Islam sebagai ”agama yang unggul” ketika realitas umat seperti itu? Berikut perbincangan Reporter CMM David K. Alka dengan Bambang Pranowo, Guru Besar Sosiologi Agama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan juga Staf Ahli Menteri Pertahanan dan Keamanan RI beberapa waktu lalu:
Bagaimana Anda melihat perkembangan konflik di Timur Tengah saat ini? Di sini kita melihat dilema paling besar: di Irak, orang Sunni menghadapi dilema yang sulit. Membantu Sunni artinya membantu pemberontak dan melemahkan AS. Sedang membiarkan Syiah berkuasa, orang-orang Sunni menjadi bulan-bulanan pembantaian orang Syiah. Di pihak lain, Iran pun mengalami dilema yang sama di Irak. Membantu Syiah, artinya mendukung pemerintahan boneka AS di Irak. Sedangkan membantu Sunni sama dengan membantu orang-orang yang membom masjid paling suci bagi umat Syiah.
Melihat persoalan tersebut, jelas amat ruwet dan kompleks. Dua mazhab besar Sunni dan Syiah saling berhadapan di satu sisi; sementara di sisi yang lain, negara-negara Arab dan Iran saling berhadapan. Dalam kondisi yang serba kompleks, tampaknya AS akan memilih “menghancurkan” Iran dengan alasan Negeri Mullah itu sedang membuat bom atom melalui reaktor nuklirnya yang tersembunyi. Jika terjadi peperangan antara AS dan Iran, siapa yang paling beruntung?
Islam itu tinggi dan tidak ada yang mengungguli ketinggian Islam (al-Islaamu ya’lu walaa yu’la ‘alaih). Jika dikaitkan dengan kehidupan umat sekarang, bagaimana makna hadis itu? Jika kita melihat realitas kehidupan umat di negeri-negeri Muslim kemudian dibandingkan dengan kondisi kehidupan di negeri-negeri non-Muslim tampak jelas kondisi umat Islam yang jauh dari posisi ‘unggul’ tersebut. Di berbagai belahan dunia ada beberapa ciri umat Islam yang khas. Pertama miskin, kedua terbelakang (untuk tidak mengatakan bodoh) dan ketiga diliputi ketidak-adilan. Yang terakhir inilah yang sering memicu konflik internal di negara-negara Islam sehingga mengakibatkan banyak pemerintahan Islam bersikap totaliter. Oleh sebab itu beberapa negara di Timur Tengah justru dikenal sebagai negara-negara yang tidak mengedepankan keadilan dalam pemerintahannya.
Mengapa negara-negara yang berpenduduk mayoritas Muslim dilanda kemiskinan? Ini pun satu persoalan yang sulit dipecahkan. Padahal kenyataannya, 75 persen sumber minyak bumi dunia berada di “perut” negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim, tapi nasib penduduk umat Islam sendiri amat memprihatinkan. Salah satu penyebabnya adalah tidak terdistribusikannya kekayaan negara terhadap penduduk secara adil. Tidak adanya transparansi dan sistem pemerintahannya yang tidak demokratis menjadikan kekayaan negara hanya dinikmati kelompok elit tertentu.
Dari data-data yang Anda peroleh, sejauhmana kaitannya dengan hal tersebut? Freedom in the World 2000: The Democracy Gap, mengungkapkan dari 192 negara yang ada di dunia saat ini, 121 di antaranya sudah berpemerintahan demokratis. Sedangkan di negara-negara yang mayoritas penduduknya Muslim, yang jumlahnya 47 negara, hanya 11 yang pemerintahannya demokratis. Ini berarti hanya 23% negara-negara Islam yang pemerintahannya transparan dan akuntabel. Sementara dari 145 negara-negara bukan Muslim, 110 (76%) pemerintahanya sudah demokratis. Gambaran ini menunjukkan bahwa di dunia non-Islam prosentase negara-negara yang demokratis tiga kali lipat lebih banyak dibanding di dunia Islam. Gambaran ini cukup menunjukkan kredibilitas dan akuntabilitas negara Islam terhadap rakyatnya. Ini pasti mempunyai dampak lanjutan, yaitu pada pemerataan kesejahteraan dan pendidikan rakyatnya.
Apa jaminan dari sebuah pemerintahan yang demokratis bagi umat Islam? Pemerintahan demokratis memang bukan satu-satunya alat ukur untuk mengetahui kredibilitas dan akuntabilitas sebuah negara. Namun, sejauh ini, kadar demokrasi sebuah negara—kata Amartya Sen, pemenang Nobel Ekonomi—bisa menjadi ukuran tingkat penyelenggaraan keadilan ekonomi sebuah negara. Sayangnya, negara-negara Islam belum menunjukkan hal itu. Akibat tidak terselenggaranya keadilan ekonomi dan politik, maka kemiskinan dan konflik politik pun merebak. Tragisnya, biasanya konflik politik itu muncul berbarengan dengan pincangnya distribusi ekonomi. Di negara Islam seperti Bangladesh, Jibouti dan Sierra Leon misalnya, konflik internal akibat meluasnya kemiskinan bercampur dengan konflik politik. Dampaknya rakyatlah yang menjadi korban. Di negara-negara kaya seperti Arab Saudi dan Kuwait, misalnya, konflik itu muncul lebih bersifat politis. Namun akibatnya sama: negara tidak stabil. Atau kalau kelihatannya stabil, kestabilannya adalah semu. Itulah yang terjadi pada dunia Islam.(CMM

Islam yang Ramah Lebih Produktif
06-April-2007
Perbedaan yang ada di tengah-tengah masyarakat merupakan sunatullah yang akan membuat kehidupan lebih dinamis. Dengan keragaman manusia akan memiliki pengetahuan yang lebih untuk menumbuhkan sikap yang bijak terhadap persoalan yang datang dari dunia luar. Sikap yang kurang toleran dalam menyikapi perbedaan hanya akan menimbulkan persoalan baru. Kekerasan yang dilakukan oknum umat Islam berdampak buruk bagi citra Islam sebagai ajaran yang rahmatan lil`alamin. Islam yang ramah akan lebih produktif daripada Islam yang marah. Bagaimana mengatasi muslim yang marah? Berikut perbincangan Reporter CMM dengan Staf Ahli Departemen Pertahanan, Bidang Sosial Budaya, Prof. Dr. M. Bambang Pranowo beberapa waktu lalu:
Di Indonesia citra Islam tercemar karena diidentikan dengan terorisme. Bagaimana tanggapan Anda? Sikap kita terkadang sudah tidak benar, apalagi seperti Imam Samudra yang meledakkan bom Bali, Marriot, dan lain sebagainya. Orang Amerika tidak ada satu pun yang kena, yang banyak mati adalah orang Indonesia. Akibat bom Bali, masjid agung di Sidney yang seharusnya dibangun, kemudian Parlemen Negara mencabut izinnya karena khawatir masjid di sana menjadi pusat teroris. Orang asing kita sweeping bahkan restoran yang memproduksi makanan ala Barat di bom, perbuatan itu saya kira sangat tidak Islami. Karena kita harus tahu, tidak semua orang Amerika anti-Islam.
Kenapa orang Barat salah paham terhadap Islam? Salah pahamnya mereka terhadap Islam karena informasi belum mereka terima. Saya punya pengalaman, ada dosen dari Amerika Serikat yang bertugas di Yogyakarta. Di Amerika dia mengira semua orang Islam memiliki istri empat. Dia bilang Islam yang terima ketika di Amerika Islam adalah agama yang dibawa Nabi Muhammad Saw. Muhammad sering sakit ayan, kemudian mengigau dan kemudian diklaim menjadi al-Quran. Oleh karena itu, di dalam al-Quran banyak ajaran yang aneh sehingga orang Islam yang laki-laki harus kawin dan beristri empat. Ketika sampai di Yogjakarta, dia tanya kanan kiri. Dia cari orang yang beristri dua saja sulit, apalagi yang empat. Akhirnya dia paham, kalau persepsi tentang Islam salah. Kemudian dia belajar Islam. Suami Istri masuk Islam. Istrinya masuk Islam justru di Yogyakarta. Kita berikan al-Quran dalam yang menggunakan bahasa Inggris. Padahal, dia dosen Universitas Katolik Atma Jaya, tapi masuk Islam di Yogyakarta.
Dalam tubuh umat Islam terdapat pengelompokan yang terkadang satu sama lain tidak harmonis. Bagaimana agar membuat umat Islam menuju ummatan wahidah? Memang istilahnya sudah terlanjur seperti itu. Misalnya kita mengatakan di Indonesia itu hanya satu Islamnya. Tidak ada NU, tidak ada Muhammadiyah. Apa itu realistis? Kenyataannya ada Muhammadiyah, ada NU, dan ada Persis. Kita akui saja kenyataan. Pendekatan sosiologis memotret masyarakat apa adanya. Hidup ahli sunnah, kita semua merasa Ahli Sunnah. Tetapi jangan menjadi alasan untuk bertengkar, alasan untuk kita tidak bersatu. Karena waktu kita ibadah haji ke Mekah, ternyata Syiah maupun Sunnah tidak ada. Kemudian dalam konferensi terakhir Syiah dan Sunnah di Mekah tidak difatwakan untuk halal membunuh darah hanya karena alasan perbedaan aliran. Inilah yang perlu dikembangkan. Titik temu seperti ini.
Bagaimana Anda melihat tingkat penghayatan keagamaan umat Islam di tengah persaingan kepentingan ideologis gerakan-gerakan keagamaan? Saya pernah tinggal setahun di Aceh yang katanya Serambi Mekah. Ternyata di bulan Puasa, saya melihat banyak orang tidak puasa. Inilah yang saya sebut bahwa dia Islam tapi sampai ke tataran jilid (tidak mengamalkan). Apa pun istilahnya, silakan saja. Itu untuk menggambarkan bagaimana keislaman yang dimiliki umat kita. Saya tidak bermaksud mengkritik. Bahkan diri kita sendiri mungkin dulu tidak terlalu Islam, tetapi setelah umurnya agak tua menjadi lebih Islam.
Namun di sisi lain, ada kasus yang menakjubkan. Di lingkungan TNI Cijantung Jakarta komplek kota di situ ada madrasah. Sewaktu didirikan, murid madrasah itu 20 % hanya dari anggota TNI Cijantung, sedangkan 80 % nya orang luar. Sekarang madrasah yang ada di Cijantung 80 % nya dari anak-anaknya TNI, hanya 20 % orang luar. Bahkan, sekarang di lingkungan TNI kalau ada Brigjen, tapi belum haji, seperti merasa bersalah. Sudah jenderal tapi belum haji. Ini sesuatu yang luar biasa.
Bagaimana mestinya agar berkembang Islam yang ramah, bukan Islam yang marah? Saya lebih cenderung kepada Islam yang kultural di Indonesia. Saya kira pendekatan kultural itulah yang lebih kokoh. Karena memiliki basic yang kuat dan tidak mudah rapuh. Islam di Asia Tenggara, khususnya di Indonesia dan Malaysia harus membuat Islam yang ramah. Islam yang ramah itulah Islam yang produktif, bukan Islam yang marah. Islam yang ramah itulah harus kita kembangkan. Karena ramahnya itu, Hindu dan Budha menjadi Islam. Oleh karena itu, mari kita buat Islam di Asia Tenggara memiliki hati, Islam yang ramah. Akhirnya, secara bertahap, masyarakat menuju kepada nilai Islam. Sementara Islam yang marah hanya akan mengundang musuh dan tidak produktif. Kembangkan Islam yang ramah bukan Islam yang marah. (CMM)
(Diambil dari : http://www.cmm.or.id)