Site Feed SOSIOLOGI AGAMA UIN: November 2006

Wednesday, November 15, 2006

Islam ramah

Prof. Dr. H.M Bambang Pranowo:
Islam Ramah Lebih Diterima dibanding Islam Marah
Wawancara | 09/06/2002

Kita ‘kan melihat sejarah Islam adalah Islam yang ramah. Yang suka marah-marah, saya kira, sekadar interupsi historis saja. Sekali-kali mungkin akan muncul gejala seperti itu, tapi tidak penting. Dalam konteks kita menerima sistem berdemokrasi, orang ‘kan boleh apa saja, dan dalam konteks globalisasi pun yang terjadi kadangkala adalah proses inter-difersivication.

Kategorisasi Clifford Geertz tentang santri-priyayi-abangan kembali digugat. Kali ini yang menggugat adalah Prof. Dr. H.M Bambang Pranowo, Guru Besar Ushuluddin UIN (Universitas Islam Negeri) Jakarta. Alumnus Monash University ini banyak mengupas pudarnya polarisasi keagamaan pada masa akhir Orde Baru dan kekinian. Menurutnya, mainstream umat Islam pasca-rontoknya tesis Geertz adalah moderat.

Ulil Abshar-Abdalla dari Kajian Islam Utan Kayu (KIUK) mewawancarai mantan Direktur Penerangan Agama Islam, Depag RI ini di Radio 68H pada hari Kamis, 6 Juni 2002. Berikut petikannya:

Stratifikasi sosial masyarakat Jawa yang pernah digulirkan Clifford Geertz soal abangan, santri dan priyayi masih kerap dipakai untuk menganalisis peta perpolitikan di tanah air. Pada pemilu pertama tahun 1955, persaingan antara kedua kelompok ini kentara sekali. Yang santri bergabung dengan Masyumi dan NU, sedangkan yang abangan bergabung di PNI dan PKI. Sekarang bagaimana konstelasi ini menurut pengamatan Anda?

Memang menarik sekali. Ternyata, kategorisasi santri-abangan itu sangat kontekstual. Artinya, dibentuk dan dipengaruhi oleh setting sosio-politik. Pada konteks saat itu, ketika Clifford Gertz melakukan penelitian pada pemilu 1955, memang tajam sekali pertentangan antara santri vis-à-vis abangan. Tapi setelah peristiwa G 30 S PKI tahun 1965, terjadi proses santrinisasi besar-besaran. Salah satu faktornya, karena orang abangan takut dituduh PKI. Untuk menunjukkan diri bahwa mereka seorang Pancasilais sejati, tentu saja harus beragama, dan keberagamaan yang tadinya sekadar tertera di KTP saja, kemudian ditegaskan menjadi harus Islam.

Mungkin pada mulanya semacam keterpaksaan, tapi proses selanjutnya justeru natural saja. Mereka menghindari lebel atheis, label PKI dan seterusnya. Tapi ternyata, perkembangan yang pada mulanya tidak otentik lalu beranjak menjadi genuine. Ini berdasar pengamatan saya di desa-desa yang mulanya merupakan kantong-kantong PKI dan PNI. Ternyata di sana terjadi proses santrinisasi yang luar biasa. Kita saksikan Jawa Tengah misalnya. Merapi dan Merbabu itu ‘kan tengahnya Jawa Tengah. Sekarang, kalau kita jalan dari Magelang ke Solo lewat Merapi dan Merbabu, hampir di mana-mana semarak dengan masjid. Saya lahir dan besar di sana. Dulu, ketika kecil, orang kampung saya yang shalat cuma sekitar empat rumah. Tapi sekarang hampir semua orang sudah mengerjakan shalat.

Pada masa Orde Baru (Orba), bagaimana konstelasi abangan-santri ini?

Sebelum Orba, desa-desa abangan dihuni PKI atau PNI. Desa santri —katakanlah NU atau Masyumi— ada di beberapa daerah pesisir. Tapi, ketika Orba, ada kebijakan floating mass (masa mengambang –red). Partai hanya ada tiga, dan kepengurusan hanya boleh sampai tingkat kabupaten. Tingkat desa nggak ada. Jadi social barrier (pembatas sosial) itu roboh dan membaur sendiri. Kemudian, Orba mementingkan sekali istilah Pancasila yang berketuhanan. Indikatornya antara lain, desa harus mempunyai tempat ibadah. Kalau tidak punya, jangan harap menang dalam lomba desa. Dulu, orang NU dan Muhammadiyah aneh bila bisa berdakwah di daerah-daerah PNI dan PKI. Sebab, mereka identik dengan NU dan Masyumi.

Pada masa Orba, polarisasi politik berdasarkan social origin menjadi kabur?

Ya. Dulu ‘kan Golkar identik dengan PNI atau orang-orang yang abangan pada mulanya merupakan pendukung partai ini. Tapi kemudian para kiai masuk Golkar dengan asumsi lebih leluasa berdakwah. Lantas wajah Golkar menjadi agamis. Jangan lupa, Pancasila zaman Soekarno dan Soeharto itu berbeda. Zaman Soekarno, lebih menonjol watak sekulernya. Pancasila bisa diperas menjadi trisila, ataupun ekasila. Yang ekasila itu gotong royong. Tapi pada masa Pak Harto, terutama pada awal 1990-an, Pancasila itu identik dengan takwa, berketuhanan. Dan itu menjadi bagian Sumpah Prajurit, Sapta Marga, Sapta Prasetia Korpri dan lain sebagainya.

Setelah era reformasi sekarang ini, bagaimana melihat keanggotaan para santri dalam partai-partai?

Yang menarik, tadi kita menyebut adanya santrinisasi dan itu masih berjalan hingga kini. Tapi setelah terjadi reformasi, harapan sebagian orang agar para santri menjadi pendukung partai Islam ternyata tidak terjadi. Mayoritas statistik bahwa orang Islam adalah mayoritas penduduk Indonesia, tidak diikuti dengan mayoritas secara politik. Faktanya, orang Islam di Indonesia tidak lagi menganggap urusan partai sebagai urusan keagamaan.

Pada pemilu tahun 1977, ada fatwa kiai bahwa mencoblos PPP wajib karena representasi partai Islam?

Ya, kemarin pada waktu pemilu 1999 di era reformasi pun ada beberapa ulama yang mengatakan begitu. Tapi, toh tidak laku. Kenapa? Karena NU punya partai yang tidak berlabel Islam, dan Muhammadiyah –meski tidak identik— punya PAN yang terbuka. Jadi yang menarik, justru yang identik dengan partai santri masa Orla atau Orba dulu, tidak terjadi pada masa sekarang. Sebab, di kalangan santri terjadi proses meninggalkan label atau simbol partai Islam itu sendiri.

Artinya, perlahan tapi pasti, umat Islam sekarang menyadari kalau partai bukan urusan agama?

Ya, begitulah kira-kira. Ketika saya masuk ke desa-desa yang semula abangan, mereka menganggap –meski mereka menunjukkan gairah keislaman yang tinggi— tidak identiknya komitmen keagamaan dengan komitmen kepartaian. Partai itukan urusan keduniaan; urusan percaturan dengan kekuasaan, sementara agama lain soal. Dengan demikian, orang yang taat beragama bisa juga mencoblos partai yang tidak identik dengan label keislaman. Bahkan dahulu pada penghujung masa Orba, banyak sekali para santri yang masuk Golkar.

Pada tahun 1970-an orang yang mau shalat di kantor-kantor sungkan, sekarang kantor yang tidak memiliki musholla malah merasa tidak lengkap. Gejala apa ini?

Ya, menarik itu. Dr. Lance Castle dari Australia juga mengatakan seperti itu. Tiga puluh lima tahun yang lalu, ketika dia mengunjungi salah satu kantor di Jakarta di bulan puasa, fenomena kopi dan teh di atas meja, masih biasa. Tapi, ketika kemarin datang lagi, Castle kaget karena tidak ada suguhan apapun.

Di satu pihak ada proses santriniasi, dan di pihak lain ada juga partai Islam. Tapi, bila suara pendukung partai Islam dinominalkan semua ternyata masih jauh dari jumlah pendukung PDI Perjuangan. Pertanyaannya, kemana larinya suara para santri?

Kalau kita lihat daerah-daerah yang mayoritas santri, tidak otomatis mencoblos partai Islam. Apalagi partai Islam yang menginginkan negara berdasarkan Islam. Justeru, partai-partai terbuka yang dominan. Jadi dari situ dapat dilihat adanya proses, dimana orang mulai menyadari, bahwa substansi Islam-lah yang penting.

Seingat saya, pada Pemilu 1955, suara Masyumi dan NU berjumlah sekitar 47 persen, tapi sekarang tak lebih dari 20 persen. Jadi, merosot separuh lebih. Bagaimana menerangkan itu?

Itu antara lain dapat diterangkan begini: rupanya, Islam yang dikehendaki adalah yang mengayomi semua atau all embrassing Islam: yang punya daya peluk untuk semua. Islam yang menjadi sekat kelompok, dan karena itu, membedakan antara muslim dengan umat agama lain menjadi tidak menarik. Meminjam bahasa Alquran, umat Islam lebih suka model yang rahmatan lil alamiin.

Kalau begitu, ada pendewasaan pandangan politik umat Islam?

Saya kira, ya. Tapi kita tidak mudah memberikan judgement bahwa ini bukan Islam karena urusan politik. Sebab, komitmen keagamaan memang tidak bisa disamakan dengan komitmen politik. Saya kira, dakwah kultural tetap yang paling pokok. Kalau kita amati, proses Islamisasi Indonesia masih berlangsung sampai kini. Termasuk di Jawa sendiri. Terjadi semacam continuing process. Dalam rumusan yang simplifikatif, kita bisa mengatakan bahwa “Islam yang ramah lebih diterima ketimbang Islam yang marah.” Jadi Islam yang marah, justru tidak membawa akibat yang positif. Kita lihat di daerah yang semula bukan daereh santri, kemudian menjadi santri. Kalau kita telusuri mereka punya pertanyaan: “Kok Islam galak, sih?” Tapi setelah dijelaskan Islam yang sebenarnya, mereka menjadi dekat.

Dakwah kultural makin penting setelah mengencangya dakwah politik sekarang ini?

Ya, energi yang terkuras untuk kepentingakan politik, alangkah baiknya kalau diarahkan pada level kultural. Dakwah kultural itu, harus menjadi milik semua orang, di manapun partainya tanpa membedakan sekat-sekat politik.

Di sejumlah daerah, masih ada pertikaian antar-umat Islam karena masalah partai?

Ya. Itu salah satunya karena orientasi politik mengatakan kalau bukan kawan saya, berartia ia menjadi musuh saya. Kalau dakwah berorientasi bagaimana kita merangkul, mengajak pada kebaikan dan lain sebagainya, maka dalam politik justru sebaliknya. Bila bukan teman berarti lawan, meskipun seagama, seperti kasus-kasus di Jepara sekalipun mereka sama-sama Nahdliyin. Dakwah tidak bersifat begitu. Dalam dakwah, semua orang dipandang punya potensi masuk sorga. Jadi dakwah lebih berorientasi membina bukan menghina, menarik bukan menghardik, merangkul bukan memukul.

Pada era reformasi ini, tampaknya mulai muncul gejala Islam yang galak?

Sebenarnya itu bukan gejala baru. Sejak dulu unsur-unsur ekstrim itu selalu ada. Zaman penjajahan dulu sudah ada. Tapi kala itu bisa dimengerti karena ada lawannya: penjajah. Tapi setelah merdeka, kita masih mengenal gerakan seperti itu, misalnya DII/TII dan lain sebagainya. Itu semua selalu punya konteks sosial-politiknya. Sekarang kalau pun ada yang seperti itu, saya kira, bukan mainstream. Mainsream umat Islam Indonesia tetap moderat. Yang begitu itu akan tetap kecil. Silent majority orang Indonesia tetap akan moderat.

Saya kira, Islam galak dan Islam ramah itu harus dilihat dalam konteks metode dakwah. Kita tahu, ada hadits Nabi Saw yang membahas tentang metode merubah kemungkaran. Tapi jangan lupa, bahwa dalam Alquran, merubah kemungkaran pun harus dengan hikmah, nasehat dan diskusi yang baik. Firman Allah: “Ud’u ila sabili rabbika bi al-hikmah wa al-mauidhoti al-hasanah wa jadilhum billati hiya ahsan.” Dan itu lebih produktif. Kita ingat bahwa ketika dulu Umar bin Khattab masuk Palestina, yang menarik orang pada Islam ketika itu, justeru karena yang menuntun onta adalah Umar ra, sementara budaknya berada di punggung onta. Itu ‘kan demonstrasi akhlak yang luar biasa. Orang bertanya mana yang pemimpin umat Islam? Ternyata, mereka selalu bergiliran naik onta bila salah satunya capek.

Apa kita bisa mengatakan Islam yang galak berarti melawan watak Islam sendiri?

Ya, kita ‘kan melihat sejarah Islam adalah Islam yang ramah. Yang suka marah-marah, saya kira, sekadar interupsi historis saja. Sekali-kali mungkin akan muncul gejala seperti itu, tapi tidak penting. Dalam konteks kita menerima sistem berdemokrasi, orang ‘kan boleh apa saja, dan dalam konteks globalisasi pun yang terjadi kadangkala adalah proses inter-difersivication.

Apa beda Islam substansial dengan Islam kultural?

Itu sebetulnya untuk memudahkan kategorisasi saja. Ada orang yang kadang mementingkan kulit saja. Islam seperti ini lawan dari Islam substansial. Sebetulnya, idealnya tidak boleh dipertentangkan. Sebab, di dunia ini tidak ada buah yang terdiri dari kulit saja atau isi saja. Tapi dalam kenyataannya, memang ada orang yang lebih berorientasi pada wadah dan kulit, sehingga kalau ada orang yang beda partai misalnya, sudah sinis dan tidak bisa menerima.

Ada guyonan yang tepat untuk menggambarkan itu: “Anda pilih minyak babi dalam botol cap onta, atau minyak onta dalam botol cap babi?”

Ya, saya ingat pameo itu dipopulerkan oleh KH. Idham Khalid. Ada minyak babi cap onta dan ada minyak samin cap babi. Tentu kita memilih dua-duanya yang bercap onta. Tapi dalam kenyataan di masyarakat, tidak seperti itu. Islam kultural itu apa sih? Islam yang menginginkan agar agama menjadi budaya orang, sehingga berislam karena kemauan sendiri dan kesadaran dari dalam. Sekarang ini, saya dan Mas Ulil tidak pakai peci, tapi kalau ada undangan tahlilan, meski tidak ada tertulis syarat harus pakai peci, kita akan pakai peci. Kekuatan apa yang membuat begitu? Itu sudah menjadi kultur. Pakai peci sudah menjadi kekuatan kultural. Demikian juga orang yang berislam. Berislam itu kesadaran dari dalam, bukan karena berpartai atau dipaksakan dari luar seperti karena atasan saya shalat, maka saya juga harus shalat. Jadi, kira-kira itulah yang disebut Islam kultural. []