Site Feed SOSIOLOGI AGAMA UIN

Thursday, July 31, 2008

Laboratorium Sosiologi Agama (LSA)

Pengumuman
Di informasikan kepada teman-teman di Program Studi Sosiologi UIN Jakarta , bahwa Laboratorium Sosiologi Agama (LSA) Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta sudah aktif , untuk itu mohon dukungannya.

Direktur LSA
DR.Yusron Rozak, MA

Thursday, May 22, 2008

Konflik, Dilema Umat Islam

Konflik, Dilema Umat Islam

16-April-2007

Akhir-akhir ini hampir tiada hari tanpa berita yang terkait dengan teror dan bom bunuh diri, khususnya di negara berpenduduk mayoritas Muslim. Realitas itu menguatkan asumsi Barat bahwa Islam adalah agama teror dan kekerasan. Di tengah merebaknya aksi kekerasan dan konflik di negeri-negeri Muslim, mayoritas umat Islam berada dalam kemiskinan dan keterbelakang. Kini, konflik, kemiskinan, dan keterbelakangan menjadi persoalan utama umat Islam hampir di seluruh negara. Di letak Islam sebagai ”agama yang unggul” ketika realitas umat seperti itu? Berikut perbincangan Reporter CMM David K. Alka dengan Bambang Pranowo, Guru Besar Sosiologi Agama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan juga Staf Ahli Menteri Pertahanan dan Keamanan RI beberapa waktu lalu:

Bagaimana Anda melihat perkembangan konflik di Timur Tengah saat ini?
Di sini kita melihat dilema paling besar: di Irak, orang Sunni menghadapi dilema yang sulit. Membantu Sunni artinya membantu pemberontak dan melemahkan AS. Sedang membiarkan Syiah berkuasa, orang-orang Sunni menjadi bulan-bulanan pembantaian orang Syiah. Di pihak lain, Iran pun mengalami dilema yang sama di Irak. Membantu Syiah, artinya mendukung pemerintahan boneka AS di Irak. Sedangkan membantu Sunni sama dengan membantu orang-orang yang membom masjid paling suci bagi umat Syiah.

Melihat persoalan tersebut, jelas amat ruwet dan kompleks. Dua mazhab besar Sunni dan Syiah saling berhadapan di satu sisi; sementara di sisi yang lain, negara-negara Arab dan Iran saling berhadapan. Dalam kondisi yang serba kompleks, tampaknya AS akan memilih “menghancurkan” Iran dengan alasan Negeri Mullah itu sedang membuat bom atom melalui reaktor nuklirnya yang tersembunyi. Jika terjadi peperangan antara AS dan Iran, siapa yang paling beruntung?

Islam itu tinggi dan tidak ada yang mengungguli ketinggian Islam (al-Islaamu ya’lu walaa yu’la ‘alaih). Jika dikaitkan dengan kehidupan umat sekarang, bagaimana makna hadis itu?
Jika kita melihat realitas kehidupan umat di negeri-negeri Muslim kemudian dibandingkan dengan kondisi kehidupan di negeri-negeri non-Muslim tampak jelas kondisi umat Islam yang jauh dari posisi ‘unggul’ tersebut. Di berbagai belahan dunia ada beberapa ciri umat Islam yang khas. Pertama miskin, kedua terbelakang (untuk tidak mengatakan bodoh) dan ketiga diliputi ketidak-adilan. Yang terakhir inilah yang sering memicu konflik internal di negara-negara Islam sehingga mengakibatkan banyak pemerintahan Islam bersikap totaliter. Oleh sebab itu beberapa negara di Timur Tengah justru dikenal sebagai negara-negara yang tidak mengedepankan keadilan dalam pemerintahannya.

Mengapa negara-negara yang berpenduduk mayoritas Muslim dilanda kemiskinan?
Ini pun satu persoalan yang sulit dipecahkan. Padahal kenyataannya, 75 persen sumber minyak bumi dunia berada di “perut” negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim, tapi nasib penduduk umat Islam sendiri amat memprihatinkan. Salah satu penyebabnya adalah tidak terdistribusikannya kekayaan negara terhadap penduduk secara adil. Tidak adanya transparansi dan sistem pemerintahannya yang tidak demokratis menjadikan kekayaan negara hanya dinikmati kelompok elit tertentu.

Dari data-data yang Anda peroleh, sejauhmana kaitannya dengan hal tersebut?
Freedom in the World 2000: The Democracy Gap, mengungkapkan dari 192 negara yang ada di dunia saat ini, 121 di antaranya sudah berpemerintahan demokratis. Sedangkan di negara-negara yang mayoritas penduduknya Muslim, yang jumlahnya 47 negara, hanya 11 yang pemerintahannya demokratis. Ini berarti hanya 23% negara-negara Islam yang pemerintahannya transparan dan akuntabel. Sementara dari 145 negara-negara bukan Muslim, 110 (76%) pemerintahanya sudah demokratis. Gambaran ini menunjukkan bahwa di dunia non-Islam prosentase negara-negara yang demokratis tiga kali lipat lebih banyak dibanding di dunia Islam. Gambaran ini cukup menunjukkan kredibilitas dan akuntabilitas negara Islam terhadap rakyatnya. Ini pasti mempunyai dampak lanjutan, yaitu pada pemerataan kesejahteraan dan pendidikan rakyatnya.

Apa jaminan dari sebuah pemerintahan yang demokratis bagi umat Islam?
Pemerintahan demokratis memang bukan satu-satunya alat ukur untuk mengetahui kredibilitas dan akuntabilitas sebuah negara. Namun, sejauh ini, kadar demokrasi sebuah negara—kata Amartya Sen, pemenang Nobel Ekonomi—bisa menjadi ukuran tingkat penyelenggaraan keadilan ekonomi sebuah negara. Sayangnya, negara-negara Islam belum menunjukkan hal itu. Akibat tidak terselenggaranya keadilan ekonomi dan politik, maka kemiskinan dan konflik politik pun merebak. Tragisnya, biasanya konflik politik itu muncul berbarengan dengan pincangnya distribusi ekonomi. Di negara Islam seperti Bangladesh, Jibouti dan Sierra Leon misalnya, konflik internal akibat meluasnya kemiskinan bercampur dengan konflik politik. Dampaknya rakyatlah yang menjadi korban. Di negara-negara kaya seperti Arab Saudi dan Kuwait, misalnya, konflik itu muncul lebih bersifat politis. Namun akibatnya sama: negara tidak stabil. Atau kalau kelihatannya stabil, kestabilannya adalah semu. Itulah yang terjadi pada dunia Islam.(CMM)



artikel ini di kutip dari http://www.cmm.or.id/cmm-ind_more.php?id=A4187_0_3_0_M

Thursday, April 03, 2008

Mencoba Memahami Dan Menerapkan Teori Pierre Bourdieu

REMAJA DAN BUDAYA

Mencoba Memahami Dan Menerapkan Teori
Pierre Bourdieu


  1. PENDAHULUAN

Dari sudut pandang sosiologis kebudayaan dilihat sebagai pola kelakuan warga masyarakat yang bersangkutan. Cara berpikir dan bertindak, bahkan cara mengembangkan perasaan tidak dilakukanorang tanpa patokan, tetapi mengikuti satu pola tertentu, suatu pola yang sudah dikenal dan disepakati bersama dan hendak dilestarikan eksistensinya. Anggota baru yang masuk ke dalam satuan budaya itu karena kelahiran atau sebagai pendatang, dan belum mengenal pola tingkah laku masyarakat itu, diwajibkan mengenal dan mempelajari serta membiasakan diri untuk berbicara dan bertindak sesuai dengan kebudayaan setempat.1

Kebudayaan menjadi perhatian para strukturalis, salah satunya Pierre Bourdieu yang memiliki konsep habitus. Menurut Bourdieu aturan budaya yang tersirat dalam karya mereka terlalu mekanis, tidak berbeda dengan arah kecenderungan di atas. Sebagai alternatifnya, ia mengajukan konsep habitus yang lebih fleksibel. Habitus ini didefenisikan sebagai seperangkat skema (Tatanan) yang memungkinkan agenn-agen menghasilkan keberpihakannya kepada praktik-praktik yang telah diadapttasi atau disesuaikan dengan perubahan situasi yang terus terjadi.

Dalam tulisan ini teori Bourdieu tersebut akan diterapkan atau dikaitkan dengan satu objek yang pada dasarnya berkaitan, karena objek tersebut, bisa dikatakan sebuah komunitas ataupun sekumpulan individu dalam masyarakat yang memiliki kesamaan usia dan fisik yang dapat memberikan ciri khas dalam keanggotaan mereka di masyarakat. Dimana, ciri tersebut terbentuk dari struktur sosial di luar diri mereka yang diinternalisasikan dan kemudian menjadi habitus.


  1. PEMBAHASAN

  1. Teori Habitus Pierre Bourdieu

Habitus didefenisikan sebagai seperangkat skema ( tatanan ) yang memungkinkan agen-agen menghasilkan keberpihakannya kepada praktek-praktek yang telah diadaptasi atau disesuaikan dengan perubahan situasi yang terus terjadi. Intisari dari hal ini adalah sejenis “improvisasi yang teratur”, sepotong prase yang berasal dari rumusan dan tema puisi lisan yang dikaji oleh Albert Lord.2

Selain itu, habitus juga didefenisikan sebagai struktur mental atau kognitif yang digunakan actor untuk menghadapi kehidupan sosial. Habitués dibayangkan sebagai struktur sosial yang diinternalisasikan yang diwjudkan. Sebagai contohnya, kebiasaan makan dengan menggunakan tangan kanan, yang dipelajari seseorang sejaka kecil dari orang-orang yang ada disekittarnya, sehingga terbawa sampai ia dewasa, karena kebiasaan tersebut sudah ia internalisasikan dalam dirinya. Sebagai contoh lainnya, yaitu kebiasaan seseorang berjalan di sebelah kiri pada jalan umum dan raya, dikarewnakan peraturan lalu-lintas, dimana hal itu merupakan peraturan dalam kehidupan sosial yang harus ditaati, karena ketaatan dari individu tersebut, hal yang tadinya merupakan peraturan menjadi kebiasaan kareana sudah terinternalisasi dalam diri setiap individu. Sehingga dapat dikatakan bahwa habitus adalah struktur sosial yang diinternalisasi sehingga menjadi suatu kebiasaan yang terus diwujudkan.

Habitus yang ada pada waktu tertentu merupakanhasil ciptaan kehidupan kolektif yang berlangsung selama periode histories yang relative panjang. Habitus menghasilkan, dan dihasilkan oleh kehidupan sosial. Dan tindakanlah yang mengantarai habitus dan kehidupan sosial. Menurut Bourdieu, habitus semata-mata “mengusulkan” apa yang sebaiknya dipikirkan orang dan apa yang sebaiknya mereka pilih untuk sebaiknya dilakukan.3 Seperti halnya makan, minum, berbicara, dan lain sebagainya.


  1. Penerapan Teori Pierre Bourdieu dalam kehidupan Remaja

Remaja merupakan bagian dari masyarakat yang sangat menarik untuk dibicarakan, karena remaja memiliki banyak hal yang menarik untuk diteliti.

Masa remaja adalah masa transisi, dimana peralihan dari masa anak-anak menuju masa dewasa. Pada masa ini remaja banyak mendapatkan goncangan dikarenakan bbanyak hal dilematis yang harus mereka hadapi. Pada satu sisi remaja dikatakan tidak dapat menyelesaikan masalahnya sendiri, dan disisi lain remaja menganggap dirinya mampu menyelesaikan masalahnya sendiri tanpa campur tangan dari orang disekitarnya, hal inilah sebagai salah satu penyebab ketergoncangan remaja.

Sikap dan tingkah laku remaja, pada dasarnya disesuaikan dengan masa dan lingkungan yang ada disekitarnya. Tidak bisa seseorang mengatakan, kenapa remaja sekarang begini tidak seperti dulu dan sebaliknya. Mungkin bagi seorang sosiolog, pemikiran seperti itu sangat kolot dan tidak dipahami dari situasi dan kondisi yang ada. Remaja sebagai agen dalam pemikiran Bourdieu, bersikap dan bertingkah laku ataupun berbicara yang menjadi ciri suatu remaja pada satu waktu adalah sosialisasi, dimana remaja sebagai makhluk sosial dari sejak kecil, belajar makan, berbicara, berpakaian, dan lain sebagainya adalah merupakan hasil dari ia berinteraksi dari lingkungan sosial yang ada disekitarnya, sehingga terkadang semua yang ada di dalam diri remaja itu adalah cerminan dari struktur sosial yang ada di sekitarnya. Apa yang ia pelajari lalu ia terapkan dalam kehidupan sosial dan berlangsung terus menerus sehingga apa yang ia pelajari itu terinternalisasi dalam dirinya, sehingga menjadi habitus yang menjadikan remaja ataupun masyarakat lainnya berbeda.

Apalagi jika berbicara remaja sekarang, dulu, desa, ataupun kota, cukup jelas sekali. Pada masa-masa 1980-an dan sebelumnya remaja sangat menurut dengan apa yang dikatakan orang tua ataupun orang lain yang lebih tua darinya, kehidupannya pun sangat sederhana, pulang sekolah membantu orang tua, dan setelah itu langsung pergi ke surau untuk mengaji, karenaga tidak banyak yang bisa dilakukan oleh remaja pada masa itu. Hal ini juga menggambarkan remaja desa yang tidak banyak memiliki kesempatan dalam menikmati kehidupan sebagai remaja.

Lain halnya dengan remaja pada zaman sekarang, kebebasan pemikiran yang memang menjadi landasan di suatu negara, khususnya Indonesia, menjadikan generasi muda semakin bebas berpikir dan merasa dapat bertindak bebas pula. Sebagai contoh, remaja dalam suatu wadah tertentu, lebih banyak menghabiskan waktu untuk hura-hura, berkumpul membicarakan hal yang tidak penting ataupun sekedar makan maupun jalan. Teknologi yang maju menjadikan banyak perubahan dalam perilaku remaja. Gambaran remaja yang hedonis dalam media televisi dalam bentuk sinema elektronik (Sinetron), hal itu mereka lihat dan secara tidak langsung mereka lakukan dan lambat laun masuk ke dalam diri mereka, sehingga perilaku mereka pun menjadi hedoinis pula.

Pergaulan remaja yang sekarang juga banyak dikaitkan dengan seks bebas, pada dasarnya diperoleh remaja dari lingkungan sosialnya, baik dari teknologi yang semakin maju, maupun lingkungan sosial yang dekat dengan remaja, atau dengan kata lain lingkungan sosial sangat berperan dalam menjadikan habitus remaja, khususnya keluarga.


III. PENUTUP

Remaja yang berbeda tempat, waktu, anggota dapat menjadikan remaja yang berbeda pula. Karena pada dasarnya manusia yang bermasyarakat selalu berbeda berdasarkan lingkungan, waktu, kondisi pada masanya, sehingga interaksinya pun berbeda. Namun, hal-hal ini yang sebelumnya merupakan struktur sosial biasa menjadi ciri suatu komunitas tertentu yang diinternalisasikan menjadi sebuah habitus bagi remaja tersebut.


  1. REFERENSI

  1. D. Hendropuspito, OC., SOSIOLOGI SISTEMATIK, (Kanisius: Jakarta), 1989

  2. Peter Burke, SEJARAH DAN TEORI SOSIAL, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia), 2001

  3. Ritzer, George, dan Goodman, Douglas, Teori Sosiologi Modern, Jakarta: Kencana,2003.




1 D. Hendropuspito, OC., SOSIOLOGI SISTEMATIK, (Kanisius: Jakarta), 1989, h. 149.

2 Peter Burke, SEJARAH DAN TEORI SOSIAL, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia), 2001, h. 179-181.

3 George Ritzer, dan Doouglas Goodman, Teori Sosiologi Modern, (Jakarta: Kencana),2003, h. 523-524

Ber-Islam Di Era Multiculturalism

Ber-Islam Di Era Multiculturalism
Contributed by Zakiyuddin Baidhawy
07/06/2004
Satu pelajaran berharga dari evolusi kebudayaan adalah bahwa realitas multikultural secara langsung dipengaruhi oleh pola pikir manusia sendiri. Dalam konteks ini, spirit sawa' memperoleh momentumnya kembali untuk lahir dengan wajah baru. Tentu saja, melalui pembacaan ulang dan memperdengarkan kembali secara produktif untuk menghadirkan kedalaman makna yang menggairahkan dan mencerahkan kehidupan bersama.
Rentang historis peradaban dunia membawa Islam terus berupaya mencari jalan untuk mengembangkan teknologi yang efektif bagi kehidupan majemuk. Berbagai tradisi filsafat, spiritualitas dan fiqhiyah telah memberi kontribusi penting untuk kemajuan dan pencarian bersama ini. Namun, evolusi kebudayaan sering menjelaskan bahwa gerakan yang diniatkan tidak selalu sesuai dengan cita-cita sosial umat Islam.
Pada faktanya relasi antar agama, antar etnik dan antar budaya & ras bahkan antar sesama Muslim itu sendiri terus mengalami kehancuran ketika perbedaan perspektif, pandangan dan ideologi saling konfrontasi dan berebut kepentingan. Kunci utama agar tetap bertahan tergantung pada cara kita belajar mengelola keragaman dan konflik. Nyata bahwa prioritas untuk menghadapi pluralitas dan multikulturalitas bangsa yang semakin canggih dan percepatannya melalui globalisasi, hanya memperoleh solusi praktis secara kreatif ketika berbagai pandangan dunia Islam dan non-Islam dapat saling berjumpa.
Islam perlu memanfaatkan momentum kebangkitan agama-agama di dunia yang terjadi sejak dekade 70-an, yang berbeda bentuk dan substansinya dari perkembangan pada pertengahan pertama abad 20. Dari segi bentuknya, agama-agama semakin menunjukkan kecenderungan semakin luwes dan umum (general) sebagai lawan dari agama-agama konfesional yang partikular. Dari segi substansinya, agama-agama mulai mengupayakan realisasi komunitas global universal dengan visi dan nasib bersama.
Dalam konteks ini, Islam seyogyanya muncul sebagai agama universal, agama general yang visible dalam penyebaran wacana dan gerakan perdamaian dan peduli terhadap lingkungan hidup. Kesempatan ini pula yang tidak boleh diabaikan. Islam untuk menjadi pemain utama arus perubahan dunia menuju kedamaian sejati. Kita berharap, abad 21 akan menyaksikan sebuah kebangkitan religius-spiritual global baik dalam wilayah publik dan privat, meskipun peran marginal dari institusi-institusi keagamaan tradisional masih dapat dilihat dalam kehidupan ini. Di sinilah pentingnya setiap agama
mengembangkan dan menguji kembali tradisi masing-masing dalam rangka merespon tantangan ini, tak terkecuali Islam sebagai agama mayoritas.
Belajar dari kegagalan politik penguasa dalam mengelola masyarakat multikultural, paradigma etis Islam multicultural sudah saatnya menjadi sumber kehidupan berbangsa dan bernegara. Islam multikultural adalah sebentuk perspektif
teologis tentang penghargaan terhadap keragaman dan "sang lian" (the other). Suatu assessment teologis mengenai agama lain, kultur lain, dan etnik lain, dan penempatannya secara layak dalam wilayah tatanan publik etis. Ia merupakan teologi qur'ani yang membolehkan "sang lian" menjadi "yang lain" sebagai realitas yang secara etis diperkenankan atau
bahkan keniscayaan. Inilah perspektif teologis abad 21 yang berkomunikasi melampaui bahasa dan tradisi partikular.
Meminjam istilah Abdulaziz Sachedina, ini merupakan "sensibilitas ekumene" dari teologi multikulturalis yang menggambarkan perhatian dan kepedulian terhadap penduduk dunia, mempengaruhi kehidupan mereka melampaui
batas-batas komunitas-komunitas keagamaan dan kultural. Tujuan luhur teologi multikulturalis (summum bonum) adalah pembebasan dari belenggu kebodohan, kemiskinan, keterbelakangan, kezaliman, dan ketidakadilan sebagai akibat dari relasi kolonial atas-bawah, dominasi-subordinasi, superior-inferior, menindas-tertindas baik dalam hubungan antaragama, etnik dan budaya. Sulam Ragam Rajut Harmoni
Islam pada intinya adalah seruan pada semua umat manusia menuju cita-cita bersama kesatuan kemanusiaan tanpa membedakan ras, warna kulit, etnik, kebudayaan dan agama. Ini berarti bahwa dominasi ras dan diskriminasi atas nama apapun merupakan kekuatan antitesis terhadap tauhid, dan karenanya harus dikecam sebagai kemusyrikan dan sekaligus kejahatan atas kemanusiaan. Pesan disinyalir al-Qur'an 3:64: "Katakanlah: Wahai semua penganut agama
(dan kebudayaan)! Mantapkanlah manifesto kesetaraan dan keadilan (melalui dialog) antara kami dan kamu".
Dialog bukan semata percakapan bahkan pertemuan dua pikiran dan hati mengenai persoalan bersama, dengan komitmen untuk saling belajar dapat berubah dan berkembang. "Berubah" artinya dialog terbuka, jujur dan simpatik dapat membawa pada kesepahaman melalui mana prasangka, stereotip, dan celaan dapat dikurangi dan dieliminir.
"Tumbuh" karena dialog mengantarkan pada informasi, klarifikasi dari sumber primer dan dapat mendiskusikannya secara terbuka dan tulus. Dialog merupakan pangkal pencerahan nurani dan akal pikiran menuju kematangan cara beragama yang menghargai "kelainan" (the otherness). Dengan demikian, nilai sawa' adalah menyangkut cara manusia melakukan perjumpaan dengan dan memahami diri.
Wahana Kebangsaan sendiri dan dunia lain pada tingkat terdalam, membuka kemungkinan-kemungkinan untuk menggali dan menggapai selaksa makna fundamental kehidupan secara individual dan kolektif dengan berbagai dimensinya. Secara eksperimental, sawa' tampil ke permukaan dan menjangkau perjumpaan antar dunia multikultural yang begitu
luas. Ketika manusia hidup melalui perjumpaan agama-agama, seolah kita mendapatkan pengalaman antarkultural (intercultural experiences). Seperti kita berjuang dengan pola-pola sejarah pertentangan berbagai pandangan dunia. Seperti kita melibatkan secara kreatif kekuatan-kekuatan besar dalam kehidupan sipil di mana pertempuran ideologi dan kehidupan terjadi. Pengalaman multikultural ini membuat kita mampu bangkit dan sadar dengan perspektif baru yang lebih memadai.
Pluralitas dan multikulturalitas untuk dialog, bukan pertentangan, adalah teknologi masa depan yang muncul dari pandangan rasional otentik berbasis wahyu progresif yang merupakan dasar bagi semua pengalaman keagamaan dan kultural. Dialog membawa pada pandangan dunia keagamaan dan kultural yang tidak parsial atau ideologi sipil yang tidak diskriminatif. Sekali lagi, dialog adalah jiwa universal yang melampaui pertempuran agama-agama, konfrontasi pandangan ilmiah dengan kehidupan agama dan spiritual, alienasi dunia etnik yang destruktif, fragmentasi dan disintegrasi kehidupan batin individu, frustrasi kebudayaan-kebudayaan sekuler. Ini dalam upaya membuka ruang dan waktu publik di mana pluralitas pandangan dunia, perspektif, dan ideologi dapat maju bersama-sama dengan spirit perdamaian, rekonsiliasi, pengampunan, nirkekerasan dan berkeadaban.
Penemuan sangat nyata atas pengalaman multikultural yang demikian intensif merupakan suatu keharusan dan kebutuhan yang tak terelakkan. Penemuan ini adalah dasar dan sumber utama diluar perbedaan dan keragaman
(diversity) pandangan dunia dan perspektif. Dengan memperoleh akses pada sumber bagi seluruh kehidupan cultural dan mengalaminya, menjadi sangat jelas bahwa umat manusia sedang berada di tengah-tengah transformasi diri yang
mendalam dan kematangan kemanusiaan. Satu pelajaran berharga dari evolusi kebudayaan adalah bahwa realitas multikultural secara langsung dipengaruhi oleh pola pikir manusia sendiri. Bangsa besar yang kedodoran ini telah terkunci dalam pola pikir egosentris. Pola pikir monolog yang membuat kita menderita dan mengalami kegagalan terbesar dalam mengelola pluralitas dan multikulturalitas. Kita merasakan betapa pedihnya kekerasan dan kehancuran relasi antara sesama atas nama etnik, budaya, politik, ideologi dan bahkan agama.
Dalam konteks ini, spirit sawa' memperoleh momentumnya kembali untuk lahir dengan wajah baru. Tentu saja, melalui pembacaan ulang dan memperdengarkan kembali secara produktif untuk menghadirkan kedalaman makna yang menggairahkan dan mencerahkan kehidupan bersama. Spirit sawa' perlu ditumbuhkan kembali sebagai wahana transformasi diri dan transformasi sosial serta membangkitkan pola pikir dan pola hidup dialogis agar lebih dapat meraih kesejahteraan dan kedamaian dalam kehidupan personal dan komunal. Seluruh kemajuan agama, spiritual, rasional, moral, dan politik dalam evolusi kebudayaan harus dikonstruk dalam kematangan dialog dan perjumpaan multicultural secara kreatif.
** Peneliti Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial Universitas Muhamadiyyah Solo (UMS)
Wahana Kebangsaan
http://www.wahanakebangsaan.org Powered by Joomla! Generated: 4 January, 2008, 13:38


Agama dan Nilai Multikulturalisme
DEWASA ini buku yang mengangkat isu multikultural cukup banyak terbit di belahan dunia Barat. Menjamurnya buku tersebut seiring dengan adanya semangat komunitas baru pada negara-negara maju yang berpenduduk heterogen. Setidaknya ada dua negara yang paling banyak menerbitkan buku-buku sejenis, yaitu Inggris dan Amerika Serikat. Pada dua negara tersebut memang diversifikasi penduduk yang terdiri atas beragam etnik, ras, budaya, dan agama selalu menjadi bahan pembicaraan hangat. Apalagi tatanan politik global yang dibentuk oleh image benturan budaya seperti yang ditulis Huntington (2002) seolah telah berhasil mengukuhkan hegemoni peradaban negara maju.

Isu multikultural kemudian semakin mengkristal dalam pandangan yang lebih ekstrem, yaitu multikulturalisme. Dengan adanya tambahan “isme” dari akar katanya (multikultural), istilah ini ternyata semakin tidak mudah dipahami. Bethany Bryson (2006), seorang profesor dari Universitas Virginia, mencoba menelusuri kompleksitas makna kata tersebut. Ia mewawancara sejumlah profesor berkaliber dalam urusan multikultural yang akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa makna istilah tersebut ternyata masih kabur dan perlu diperjuangkan.

Meski begitu, ada dua hal yang menarik dicermati dari hasil riset Bryson berkenaan dengan ditemukannya kecenderungan utama dalam memahami istilah multikulturalisme. Multikulturalisme sering dipersepsi sebagai politik pengajaran dan nilai keragaman pada tatanan masyarakat plural. Dua istilah tersebut sebenarnya terkait erat dengan dunia pendidikan yang satu dengan yang lainnya tidak saling mengecualikan (mutually exclusive), bahkan dapat dikatakan ibarat dua sisi uang yang berbeda.

Isu multikulturalisme sebenarnya tidak terlepas dari tatanan politik global. Dunia Barat yang kini sedang berupaya mengubah tatanan dunia baru agar menjadi “miliknya” mengangkat isu multikulturalisme sebagai tema penting yang ditawarkan dalam mengubah citra masyarakat heterogen. Memang luar biasa, dalam prinsip pendidikan multikultural misalnya, pengakuan terhadap perbedaan menjadi hal yang sangat diutamakan. Hak asasi individu atau kelompok apa pun bentuk keunikannya memperoleh tempat yang terhormat di mata multikulturalisme. Bahkan orientasi seksual semacam homoseksual sekalipun secara perlahan memperoleh tempat di tengah masyarakat Barat.

Dari sinilah kemudian berkembang semangat komunitas yang mencampuradukkan antara keragaman dengan keagamaan, antara yang eksoterik dengan yang esoterik. Setiap keunikan budaya dibiarkan berkembang, namun pada saat yang sama interaksi trans-budaya yang inferior dengan budaya yang superior dapat menyebabkan semakin lunturnya nilai-nilai budaya pada kalangan minoritas yang cenderung inferior. Karena salah satu elemen pembentuk kebudayaan adalah agama, maka keadaan ini sesungguhnya dapat menggambarkan terjadinya pengikisan nilai-nilai agama secara perlahan.

Pada kejadian semacam itu, dampak multikulturalisme dapat menerobos jauh pada wilayah nilai-nilai intrinsik suatu keyakinan agama. Saat nilai agama sudah dilenturkan untuk mengikuti irama masyarakat yang plural, maka batas-batas elemen identitas suatu komunitas beragama dipastikan akan semakin kabur manakala berada dalam posisi yang kalah jumlah, kalah kualitas, dan kalah power. Sementara di lain pihak komunitas beragama yang memiliki superioritas budaya, ekonomi, dan politik akan semakin diuntungkan.

Karena itu, dengan asumsi agama berperan penting dalam pembentukan budaya, maka apa yang terkandung dalam gagasan multikulturalisme sesungguhnya menyangkut eksistensi agama itu sendiri. Agama bukan hanya diakui sebagai kekayaaan yang unik tetapi bisa menjadi sesuatu yang ikut lebur dalam tempat percampuran (melting pot) budaya yang diakui sebagai milik bersama. Ini sesungguhnya berpotensi untuk melahirkan —meminjam istilah Harold Titus (1979)— perang nilai (war of values) yang sebenarnya lebih dahsyat ketimbang sebuah benturan budaya seperti yang digambarkan Huntington. Kekalahan dalam perang nilai dapat melahirkan penyakit schizophrenia, kepribadian ganda, atau bahkan kehilangan jati diri sama sekali pada kalangan generasi muda.

Inilah sebenarnya gejala yang dikhawatirkan banyak kalangan pada tatanan dunia global. Dalam bukunya Our Endangered Values, mantan Presiden Amerika Jimmy Carter menggarisbawahi adanya krisis moral pada bangsa Amerika yang pada gilirannya memerlukan penguatan semangat religius dalam perspektif agama Kristen. Begitu juga John Esposito, seorang profesor dari Georgetown University yang memiliki perhatian besar terhadap Islam mensinyalir adanya dampak multikulturalisme dan pluralisme terhadap sistem keyakinan suatu komunitas Muslim. Bagi Esposito, pengakuan terhadap keragaman yang ada dalam agama lain tidak harus melemahkan sistem keyakinan umat Islam.

Kekhawatiran tersebut sebenarnya telah terjadi pada sebagian masyarakat kita. Bahkan boleh jadi dampak multikulturalisme ini telah berkembang dalam spesies yang berbeda dari apa yang terjadi di negara asalnya. Pencampuran budaya pada masyarakat plural di belahan dunia Barat tampaknya masih diimbangi oleh kemampuan menimbang secara kritis terhadap pengalaman hidup yang penuh tantangan akibat perbedaan. Namun tidak demikian dengan apa yang terjadi dalam masyarakat kita. Multikulturalisme yang dipromosikan melalui dunia maya seperti televisi, VCD, film, internet, dll., diakui ataupun tidak, telah membentuk kerelaan sosial kawula muda secara masal untuk menerima budaya orang lain yang sebenarnya dapat membengkokkan keyakinan kita terhadap kaidah agama. Di sisi lain, gerakan intelektual yang cenderung kebablasan dalam menerjemahkan toleransi beragama juga sesekali terjadi.

Fenomena tersebut muncul bukan hanya karena kuatnya pengaruh perlintasan budaya dan paham multikulturalisme saat ini, tetapi juga akibat keadaan generasi muda masyarakat kita yang kurang melek spiritualitas dan pemahaman agamanya. Ini adalah tantangan bagi dunia pendidikan, khususnya pendidikan agama, dalam menyiapkan generasi muda. Untuk itu, yang kita butuhkan sekarang ini adalah model pendidikan agama yang mampu membentuk cara pandang terbuka, toleran, dan simpatik terhadap perbedaan, namun di sisi lain keimanan dan perwujudan syariat agama harus menjadi basis utama bagi pengembangan semua tatanan berpikir dan sikap sosial tersebut.***
Penulis, dosen UIN Bandung, sedang mengikuti “Post-Doctor Visiting Scholar Program” di Columbia University, AS.


Islam Warna Warni

Tulisan ini dimuat pada rubrik texere khusus dalam Jurnal Texere vol. I Ramadhan 1424 H/November 2003 M dengan judul “Islam Warna Warni; Mozaik Syariat Islam Di Tengah Multikulturalisme”. Dalam tulisan ini diulas sebuah tawaran eklektik tentang Islam yang akomodatif terhadap budaya lokal

Ruang Multikultural adalah sebuah ruang kontestasi, demikian seloroh seorang teman ketika wacana multikulturalisme mengemuka di dunia intelektual sosial-budaya era 90-an. Wacana ini hampir menjadi wacana dominan yang tak terbantahkan ketika di dedahkan sebagai solusi atas berbagai macam perbedaan (difference) dan keberagaman (diversity) yang merupakan realitas masyarakat global (global society). Multikulturalisme menjadi semacam manajemen perbedaan untuk menjaga keharmonisan dan dinamisasi kehidupan sosial masyarakat.

Multikultural, menurut Ahmad Baso(1), berwujud menjadi sebuah gerakan, dengan defenisi seperti ini, maka multikultural harus bisa di bedakan dengan realitas budaya yang plural. Multikultural merupakan sebuah proyek atau usaha sadar untuk mengatur dan mendinamisasi hubungan (relation) antar kultur, sementara plural hanyalah sebuah kondisi yang sudah ada sebagai realitas. Dengan demikian, masih menurut Ahmad Baso, gerakan multikulturalisme merupakan proyek multidimensional yang melibatkan berbagai etnis dan berbagai macam kegiatan.

Sementara itu, Yasraf Amir Piliang(2) mengatakan bahwa Multikulturalisme adalah sebuah relasi pluralitas yang di dalamnya terdapat problem minoritas (minority groups) vs mayoritas (mayority group), yang di dalamnya ada perjuangan eksistensial bagi pengakuan, persamaan (equality), kesetaraan, dan keadilan (justice). Beliau juga membedakannya dari pluralisme yang diartikannya sebagai pandangan yang menghargai kemajemukan, serta penghormatan terhadap sang lain yang berbeda (the others), membuka diri terhadap warna-warni keyakinan, kerelaan untuk berbagi (sharing), keterbukaan untuk saling-belajar (inklusivisme), serta keterlibatan diri secara aktif di dalam dialog dalam rangka mencari persamaan-persamaan (common belief) dan menyelesaikan konflik-konflik.

Lebih jauh, multikultural menjadi ranah tempat berlangsungnya komunikasi, dialektika dan tawar-menawar antarbudaya yang terjadi secara seimbang dan sederajat dalam hal hak-hak dan kewajiban-kewajiban kultural. Bila memang demikian adanya, satu hal yang menarik dalam perbincangan multikulturalisme dalam bingkai kelokalan kita adalah wacana penegakan syariat Islam sebagai sebuah aspirasi kultural yang sedang hangat mencari ruang eksisten.

Dengan wacana multikulturalisme, maka keinginan untuk menegakkan syariat Islam akan mendapat ruang perbincangan yang lebih akademis dan bisa di pertangungjawabkan secara ilmiah. Multikulturalisme menghendaki kedewasaan dalam menyikapi perbedaan dan keaneka-ragaman yang ada, namun juga berusaha untuk terjebak pada affirmative action yang merupakan penyelewengan dari multikulturalisme.

Multikulturalisme Dan Ancaman Kegagalan
Multikullturalisme sebagai sebuah konsep dan tawaran solutif atas berbagai problem sosial, diatas kertas memang memiliki jaminan perbaikan, namun secara inhern, tidak bisa di nafikan adanya ambiguitas di dalamnya. Seperti di sinyalir oleh Manneke Budiman(3), ada tiga hal yang harus di waspadai dalam multikulturalisme, yaitu ; pertama, ketika multikulturalisme bergeser menjadi ideologi, maka multikulturalisme yang pada mulanya merupakan arena kontestasi, pada titik ini juga menjadi pemain. Pertanyaan yang patut di ajukan adalah mungkinkah multikulturalisme tetap konsisten untuk majemuk, terbuka dan akomodatif dalam arena kontestasi ideologi.

Kalaupun pertanyaan pertama terjawab, pertanyaan kedua yang menjadi masalah multikuturalisme adalah mungkinkah multikulturalisme menang tanpa menggunakan strategi penyingkiran dan pembungkaman terhadap yang lain. Sementara itu sebagaimana mahfum, ideologi cendrung untuk menyingkirkan dan membungkam lawan-lawannya, hal ini karena ideologi selalu bersifat ekslusif dan tertutup.

Masalah kedua dalam multikulturalisme menurut Manneke adalah ketika multikulturalisme mengalami penyelewengan dan di manfaatkan untuk menumbuhkan semangat chauvinisme, sukuisme, dan tirani minoritas. Hal ini akan berakibat muncul dan lahirnya sebuah struktur sosial baru yang cendrung memanjakan dan memberi hak khusus kepada kelompok minoritas yang selama ini terbungkam dan terpinggirkan.

Dan problem yang ketiga adalah pemahaman multikulturalisme mengalami reduksi sebagai sekedar kondisi plural, seperti di Indonesia. Kalau pembahasan ini coba di batasi pada ruang lingkup Indonesia, maka akan di temukan adanya penyimpangan ini secara nyata. Baik pada persoalan kultural secara luas, maupun pada persoalan agama secara spesifik.

Penyelewengan multikulturalisme menjadi sekedar pluralisme yang terjadi di Indonesia, terutama pada wilayah keagamaan, ini lebih merupakan akibat dari bangunan teologi yang berkembang. Ini pula yang menjadi kendala perguliran wacana syariat Islam. Meminjam pembagian corak teologi Cecelia Lynch(4), akan ditemukan betapa corak teologi seseorang atau sebuah komunitas keagamaan maupun kultural akan sangat berpengaruh bagi proyek multikulturalisme.

Corak teologi Cecelia itu adalah pertama, teologi eksklusif. Teologi ini merupakan teologi yang paling ideologis, sifatnya sangat tertutup dan menempatkan teologinya sebagai satu-satunya kebenaran. Kedua, teologi apologetik. Model teologi apologetik tidak se ekstrim teologi eksklusif, namun mereka tetap berusaha menjelaskan bahwa teologi merekalah yang benar dengan berusaha mencari berbagai macam apologi atau sistem pembenaran.

Ketiga, teologi inklusif. Dalam teologi seperti ini, sudah ada ruang pengakuan terhadap teologi diluarnya, namun kesimpulan akhir akan kebenaran tetap kembali pada dirinya. Teologi lainmemang memiliki kebenaran, tetapi intensitas kebenaran teologi lain tetap berada di bawah kebenaran teologinya. Keempat, teologi sinkretis. Teologi yang paling nyeleneh dan cendrung menyederhanakan masalah kebenaran, karena menganggap semua teologi sama saja sehingga lebih baik dan sah bila antar teologi itu ada perkawinan dan pembauran konsep.

Terakhir, kelima¸ teologi pluralis. Teologi model inilah yang paling pas untuk terbangunnya proyek multikulturalisme. Hal ini karena teologi model ini mengakui bahwa setiap teologi memiliki eksistensi masing-masing, namun semuanya berada dalam tahap proses, sehingga dinamisasi dan dialektika yang terwujud dalam bentuk kontestasi dan dialektika antar teologi lebih memungkinkan.

Kalau pemetaan teologi Cecelia Lynch dipakai dalam menyorot bangunan teologi masyarakat Indonesia yang berusaha menegakkan Syariat Islam secara formal, umumnya masih menganut corak teologi eksklusif. Sementara itu sebagian kecil umat Islam yang berfikir inklusif, apologetik bahkan sinkretis, tidak terlalu ngotot, bahkan tema syariat Islam secara formal bukanlah menjadi hal yang urgen bagi mereka. Bahkan kelompok Islam minoritas ini memiliki siasat tersendiri untuk berislam tanpa harus terjebak pada formalisasi syariat.

Kuntowijoyo(5), dengan menganalisis kategori-kategori sistem pengetahuan dan formasi sosial, beliau menemukan fase perkembangan umat Islam Indonesia dan merumuskannya dalam sebuah periodisasi sejarah. Periode pertama, beliau menamainya sebagai periode mitos, umat Islam di dominasi oleh kesadaran kawulo. Periode kedua, adalah periode ideologi, umat Islam di indonesia masih di “halusinasi” oleh kognisi wong cilik.

Pada periode terakhir, ketiga, mengemuka periode ilmu. Periode ini di tandai dengan masuknya wabah pencerahan Eropa ke Indonesia pada awal abad 20 M. kesadaran yang di internalisasi umat Islam adalah kesadaran kewargaan. Nah, kalau berbicara model kesadaran mana yang paling potensial untuk sebuah penegakan syariat Islam secara dewasa, maka jawabnya tentu pada kesadaran kewargaan yang berada pada periode ketiga.

Namun sayang sekali karena dampak dari bangunan teologi yang dianut, maka geliat formalisasi syariat Islam yang mengemuka akhir-akhir ini adalah gerakan yang berbasis pada kesadaran yang ideologis. Kalaupun ada upaya menggiringnya menjadi kesadaran kewargaan, itupun hanya bermain pada tataran elite. Sehingga kesadaran umat secara umum masih tetap pada taraf ideologi yang tentunya berjalin berkelindan dengan teologi yang eksklusif.

Bila sudah seperti ini kondisi yang melingkupinya, maka formalisasi syariat Islam, terancam mengalami kegagalan, bahkan dalam sebuah ruang kontestasi yang demikian terbuka yang di tawarkan oleh proyek multikulturalisme. Hal ini karena di dalam bangunan kognisi umat Islam hari ini secara inhern memang termuat ambiguitas konsepsional ketika di perhadapkan dengan wacana multikulturalisme. Wajah umat Islam dengan versi syariat Islam yang di tawarkan akan menyeret wacana multikulturalisme pada jurang bunuh diri.

Dengan nyata akan terlihat bagaimana potensi ambiguitas multikulturalisme akan menjadi kenyataan karena dorongan dan desakan wajah Islam yang ditawarkan, sehingga multikulturalisme akan berakhir dan mengalami proses kematian yang tragis. Sebuah bunuh diri yang nyata. Hasil mimikri(6) budaya antara Islam dan multikulturalisme akan melahirkan sebuah masyarakat nekrokultur(7).

Mimikri Baru Islam-Multikultural
Upaya penyelamatan terhadap bangunan sosial mutlak harus di lakukan, oleh karena itu gerak masyarakat kearah nekrokultur mutlak harus di hentikan. Namun satu hal yang harus di catat bahwa, untuk menyelamatkan konstruksi sosial, bukanlah dengan cara memberangus hasrat masyarakat untuk melakukan formalisasi syariat Islam ataukah menghentikan proyek multikulturalisme. Karena pemberangusan dan pembungkaman akan melahirkan sebuah bangunan nekrokultura baru. Yang patut dilakukan adalah melakukan mimikri ulang secara kultural terhadap Islam dan multikultural.

Langkah ini dapat dilakukan dengan dua fase. Fase pertama merupakan fase reinterpretasi atas teologi umat Islam dari teologi eksklusif kearah teologi pluralis, dengan cara “menyeret” umat untuk beranjak dari periode mitos dan ideologi menuju periode ilmu. Untuk membantu usaha ini, tawaran Kuntowijoyo, merupakan tawaran yang menarik untuk di pertimbangkan.

Kuntowijoyo(8) menawarkan sebuah konsep “Ilmu Sosial Profetis”, inti dari konsep ini adalah, pertama, melakukan transformasi sosial dan perubahan dengan cara menjelaskan fenomena sosial kemudian mengubahnya, disamping itu, memberikan interpretasi, mengarahkan, serta membawa perubahan bagi pencapaian nilai-nilai yang dianut oleh kaum muslimin sesuai petunjuk Al-Qur’an, yakni emansipasi atau humanisasi, liberasi, dan transendensi(9).

Kemudian, inti kedua dari Ilmu Sosial Profetik adalah bagaimana menjadikan al-Qur,an sebagai paradigma. Hal ini di tawarkan oleh Kuntowijoyo melalui sebuah proyek yang di gelarinya “Strukturalisme Transendental”. Menurutnya, setiap relitas sosial selalu di konstruksi oleh mode of thought atau mode of inquiry. Mode of thought mengkonstruksi realitas melalui mode of knowing yang di lahirkannya. Sebuah cara berfikir yang mirip dengan analisis episteme Foucauldian(10).

Disamping itu, satu hal yang sangat penting untuk dilakukan secara internal oleh umat Islam adalah proses desakralisasi kebenaran. Proyek ini menjadi penting, karena bila ini tidak pernah terlaksana, maka selamanya Islam akan di fahami secara eksklusif. Kebenaran yang selama ini terdedahkan di tengah-tengah umat harus bisa difahami sebagai sekedar hasil konstruksi episteme tertentu. Bahkan, karena kebenaran hanyalah sebagai sebuah produk dari metode interpretasi tertentu, maka maknanya senantiasa tertunda(11).

Bila penyelamatan telah dilakukan pada sisi umat Islam, maka sisi yang satunya, yaitu Multikulturalisme, juga seharusnya mengalami penyelamatan. Homi Bhabha(12) mengatakan bahwa kata “kultur” dalam multikulturalisme, seharusnya jangan di fahami sebagai suatu rujukan identitas yang bersifat apriori, melainkan sebagai aktivitas negosiasi, pengaturan, dan pengesahan tuntutan-tuntutan akan representasi diri yang kolektif, yang tidak hanya saling berkompetisi, namun juga kerap saling bertubrukan(13).

Pemahaman seperti ini harus terbangun untuk menghindari membekunya konsep multikulturalisme menjadi segepok ideologi. Di samping itu untuk menahan agar multikulturalisme tidak terjatuh pada sekedar menjadi bangungan pluralisme, maka masih menurut Bhabha, sifat hubungan antar unsur yang terlibat dalam aktivitas itu adalah konfliktual dan kompetitif, bukan harmonis dan konseptual(14). Bila semuanya di fahami sebagai konflik dan kompetisi, maka akan di temukan bahwa multikuluralisme merupakan sesuatu yang hidup dan penuh gairah, serta bukan sekedar sebuah gambaran realitas yang membeku.

Dengan meminjam analisis Kritik Ideologi Jurgen Habermas(15), kemudian diperuncing oleh oto kritik atas Multikulturalisme, Cornel West(16) menganjurkan agar multikulturalisme jangan di fahami sebagai ideologi, melainkan sebagai sebuah kritik yang mampu menyoroti berbagai persoalan yang terkandung di dalam multikulturalisme sendiri(17). Multikulturalisme di samping difahami sebagai subyek/pelaku analisisi sosial, multikulturalisme juga harus dijadkan sebagai obyek analisa, karena multikulturalisme juga merupakan konsep yang tidak bisa lepas dari konteks sosial maupun historis tertentu.

Islam Warna-Warni, Islam Lokalitas
Bila upaya membangun mimikri baru Islam-Multkultural berhasil, maka akan lahir sebuah wajah syariat Islam yang tidak memberangus multikulturalisme. Bahkan akan lahir sebuah wajah Islam Warna-Warni. Islam-Multikultural akan mengedepankan local content dalam melakukan interpretasi terhadap Islam. Islam yang bercorak lokalitas akan memungkinkan lahirnya kontestasi budaya lokal dari rahim Islam-Multikultural. Islam Warna-Warni ini akan menolak logika kesamaan dan proses asimilasi yang satu arah.

Ada beberapa nilai dasar yang menjadi ciri khas dari Islam Warna-Warni yaitu, pertama tanpa sentrum, kedua, merupakan hasil penghayatan atas local content. Ketiga, berwujud pengetahuan non-diskursif atau kesadaran non-reflektif. Keempat, berlandaskan pada aqidah yang berorientasi praxis-pragmatis. Kelima, merupakan teologi proses.

Islam yang tanpa sentrum memungkinkan merumuskan sebuah bangunan syariat Islam yang tidak berkiblat ke Arab. Jadi ada upaya untuk memisahkan antara nilai Islam dari budaya Arab yang selama ini menjadi ibu kandungnya. Seuah ikhtiar melahirkan interpretasi Islam dalam pangkuan budaya lokal. Islam Warna-Warni memotong model asimilasi budaya satu arah, bahwa untuk menjadi Islam, maka harus menjadi Arab. Posisi Arab sebagai sentrum kebenaran dari nilai Islam harus mengalami delegitimasi dengan mengedepankan penafsir-penafsir lokal yang lebih memahami nalar dan kognisi masyarakat lokal.

Islam Warna-Warni akan mendorong penguatan wilayah feri-feri tanpa harus terjebak pada affirmative action yang cendrung melahirkan kekuasaan otoritatif seorang penafsir sebagai kebenaran tunggal secara apriori dan mutlak. Sebagaimana mahfum, proses representasi menurut Nuhsin Arbabzadah-Green(18) bukanlah realitas yang sebenarnya, ia hanya menghadirkan satu potongan atau esensialisasi dari realitas tersebut, yang terkadang penuh reduksi dan menggeneralisasi. Bila posisi setiap representasi adalah sama, maka Islam yang di representasikan oleh budaya Arab, tidak berhak untuk menjadi tafsir tunggal Islam.

Karena setiap bangunan budaya sebagai wilayah feri-feri punya hak yang sama untuk merepresentasikan Islam, maka tentu akan lahir Islam yang concern terhadap local content masing-masing budaya. Dengan terbukanya ruang ini, akan memungkinkan Islam menjadi sebuah ruang penghayatan spirtualitas yang betul-betul di alami secara utuh sebagai proses kemausiaan dalam sebuah proses kemenjadian oleh seorang manusia.

Proses penghayatan yang agak fenomenologi ini, akan mendorng lahirnya bangunan pengetahuan non-diskursif(19), sebagai bangunan pengetahuan alternatif yang tidak di produksi oleh sebuah formasi diskursif dominan yang cendrung menghegemoni. Juga penghayatan ini akan melahirkan kesadaran non-reflektif(20) sebagai model kesadaran yang tidak berjarak dengan realitas dan merupakan ikhtiar keluar dari belukar kesadaran ideologis yang mengekang dan membeku. Jadi Syariat Islam yang paling riil adalah yang aktual dan teraktualisasi di tengah masyarakat yang lahir dari hasil penghayatan atas realitas spiritual.

Islam Warna-Warni mendorong model aqidah praxis-pragmatis, maksudnya bahwa pada dasarnya tujuan utama dari aqidah adalah praxis atau pragmatis, bukan teoritis, argumentatif maupun retoris. Aqidah harus mampu menjadi landasan gerak dan menggerakkan. Tauhid sebagai doktrin dasar aqidah Islam sudah bukan saatnya lagi berbicara tentang keesaan Tuhan secara njlimet, namun lebih pada tuntutan bagaimana diktum ini mengejawantah dalam realitas lewat wajah kebenaran, keadilan dan spiritualitas.

Sebagaimana dikatakan oleh Abbe Pire(21), apa yang menjadi persoalan bukanlah perbedaanantara orang yang beriman dan orang yang tidak beriman, akan tetapi antara siapa yang membela (menjalankan) dan siapa yang tidak membela atau tidak mengamalkan. Kebenaran Aqidah dari Islam Warna-Warni terletak pada tanggungjawab kulturalnya. Bukan pada kekuatan argumentasi kebenaran teoretisnya. Inilah aqidah praxis-pragmatis yang menjadi hakekat Syariat Islam.

Ciri terakhir dari Islam Warna-Warni adalah coraknya sebagai teologi yang hidup dan senantiasa berjalan sebagai proses tanpa henti. Teologi proses dimungkinkan karena indikator kebenaran sebuah teologi terletak pada kemampuannya untuk senantiasa menjawab kebutuhan realitas sosial, sementara itu sebagaimana mahfum, realitas sosial merupakan sesuatu yang hidup, senantiasa berada dalam situasi dan wajah konfliktual serta kompetitif. Kondisi ini menuntut sebuah bangunan kebenaran yang bersifat holistik dengan ciri situasi taksa, samar dan ambigu, namun bernuansa intuitif, mistisis dan lebih estetis(22).

Islam-Multikuluralisme Melalui Seni
Dengan wajah Islam yang warna-warni, maka kemungkinan penegakan syariat Islam pada ranah multikulturalisme akan menjadi terbuka dengan sangat lebar. Tinggal bagaimana umat Islam berani untuk mengambil pilihan model gerakan yang tidak terjebak pada idealisasi masa lalu sebagaimana kebiasaan kaum fundamentalisme tak berwawasan ataukah ikut-ikutan terjebak pada bangunan utopia masa depan sebagaimana yang menjadi penyakit paten dari gerakan kiri yang kekanak-kanakan(23).

Wilayah yang memungkinkan lahirnya Islam Warna-Warni dengan jelas dan terang-terangan adalah wilayah seni. Sebagaimana yang difahami oleh Martin Heidegger(24) bahwa seni, terutama puisi merupakan arena yang paling aman untuk penampakan ada, karena puisi merupakan sebuah interpretasi terhadap sang ada kedalam wilayah kultural, namun juga tidak sepenuhnya memberangus sifat natural yang merupakan sifat dasariah dari sang ada. Atau dalam bahasa Kuntowijoyo(25) bahwa seni mampu meruntuhkan mitos, dimana mitos merupakan abstraksi dari yang konkrit sementara seni membalikkan keadaan ini, karena seni justru merupakan upaya konkretisasi dari yang abstrak.

Jadi ujung tombak penegakan syariat Islam yang paling ramah dan tidak memberangus serta menelikung ranah multikulturalisme adalah seni. Dan ketahuilah bahwa sesungguhnya seluruh proses hidup manusia merupakan tindakan seni kalau kau memahaminya melalui penghayatanmu yang mendalam. Camkan itu.

(1) Baso, Ahmad. Plesetan Lokalitas, Desantara. Jakarta. 2002. Cetakan I
(2) Piliang. Y. A. Neopluralisme , Belajar Dari Pluralisme Kecil. Artikel. Kompas
(3) Budiman, Manneke. Masih Adakah Masa Depan Bagi Multikulturalisme ? dalam Srinthil edisi 4, Kajian Perempuan Multikultural Desantara. Jakarta. 2003
(4) Ali. Muhammad. Teologi dan Multikulturalisme, Artikel. Kompas.
(5) Kuntowijoyo. Paradigma Islam, Interpretasi Untuk Aksi. Mizan. Bandung. 1991
(6) Mimikri adalah sebuah strategi budaya yang di tawarkan oleh Homi Bhabha (1994) yang diartikan sebagai proses peniruan/peminjaman berbagai elemen kebudayaan, disamping itu mimikri juga bisa di pandang sebagai strategi menghadapi dominasi. Lebih lanjut, lihat Hibriditas, Antariksa dalam Kreolisasi, dan Mimikri, artikel www.kunci.or.id
(7) Nekrokultura adalah sebuah model bangunan budaya yang cendrung pada kehancuran, kematian dan destruktivitas.
(8) Kuntowijoyo. Muslim tanpa Masjid. Mizan. Bandung. 2001
(9) Marzuki. A. F. Membangun Semesta Budaya Profetik, Artikel. Kompas. 21 September 2003
(10) Episteme merupakan keseluruhan pola pikir yang berhubungan dengan sistem wacana yang digunakan, institusi yang dimanfaatkan maupun posisi subjek dalam pemilihan nilai yang dianutnya. Episteme membantu kita dalam mendefinisikan realitas, sekaligus merekontruksinya. Penjelasan lebih lanjut, lihat Foucault, Michael, Power Knowledge, Selected Interview and Other Writings, 1972-1977, the Harvester Press, Sussex, 1980
(11) Kondisi makna yang selalu tertunda, di ulas secara gamblang oleh Jacques Derrida dengan konsep difference-nya. Lebih lanjut silahkan baca Bertens, K. Filsafat Barat Kontempore Prancis, Gramedia, Jakarta, Agustus 2001, Cet. III. Hal 326-341
(12) Bhabha. Homi. Reinventing Britain ; A Manifesto , dalam N. Wadham-Smith (ed). Brithish Studies Now Vol 9. April 1997
(13) Budiman. Manneke, op.cit.
(14) Budiman. Manneke, ibid.
(15) Fauzi. Ibrahim Ali. Jurgen Habermas. Jakarta. Teraju. April 2003 Cetakan I
(16) West. Cornel. Prophetic Thought in Postmodern Times, dalam Beyond Eurocentrism and Multikculturalism, volume 1 Monroe ; Common Courage Press. 1993
(17) Budiman. Manneke, op.cit.
(18) Wardani, Farah. Representasi islam; Muslim di Barat, Islamophobia dan Multikulturalisme. Artikel. Kompas, 26 oktober 2003
(19) Foucault. Michael, Pengetahuan dan Metode, karya-karya Penting Foucault, Jalasutra,Yogyakarta,2002
(20) Fauzi. Ibrahim Ali. op.cit.
(21) Fromm, Erich. Psikoanalisa dan Agama. Jakarta. Atista. 1998 juga Fromm. Erich. Manusia Menjadi Tuhan, Yogyakarta. Jalasutra. Februari 2003. Edisi 2
(22) Heriyanto. Husein, Paradigma Holistik, Teraju, Yogyakarta, 2003 Cetakan I
(23) Freire. Paulo. Pendidikan Yang Membebaskan, Melibas. Jakarta Timur. 2001. Cetakan I
(24) Adian, Donny Gahral. Martin Heidegger, Jakarta. Teraju. Maret 2003. Cet. I
(25) Marzuki. A. F. op.cit.



MULTIKULTIRALISME DAN SYARI'AT ISLAM

Ditulis Oleh Husein Muhammad
Kamis, 02 Agustus 2007
Berkaitan dengan tema diskusi ini saya ingin mengambil bagian untuk dapat menjelaskan pemahaman saya mengenai syari'ah . Dalam banyak pembicaraan, kata "syari'ah" seringkali diterjemahkan sebagai "agama". Hukum-hukum syari'ah dimaknai sebagai hukum-hukum agama. Bank Syari'ah adalah bank yang menerapkan sistem hukum agama Islam. Tetapi syari'ah juga bisa berarti hukum Islam dengan konotasi hukum fiqh. Di Perguruan Tinggi Islam atau Universitas Islam ada fakultas Syari'ah. Di dalamnya dipelajari hukum-hukum fiqh. Pengertian ini dimaksudkan untuk membedakannya dari fakultas ushuluddin yakni fakultas yang mempelajari persoalan-persoalan teologi/Kalam/Aqidah.
Bahkan hukum-hukum Islam yang diamalkan oleh masyarakat muslim di seluruh dunia dewasa ini pada faktanya adalah fiqh, yakni hasil pemikiran dan interpretasi para ahli hukum Islam sepeninggal Nabi Muhammad Saw.terhadap teks-teks agama. Pengertian-pengertian syari'ah di atas telah menjadi bagian dari perbincangan para ulama Islam sejak masa lalu sampai hari ini . Secara etimologis, syari'ah atau syara' menurut kata dasarnya berarti jalan ke sumber air atau jalan terang yang harus dilalui atau jalan yang harus diikuti oleh orang-orang beriman.( Dairah al Ma'arif al Islamiyah , Dar al Fikr, Beirut, vol. III, hal. 242)
Dalam Islam jalan yang dimaksud adalah jalan yang membawa manusia kepada Tuhan. Ada istilah lain yang memiliki arti sama yang juga populer di kalangan masyarakat Islam, yaitu "thariqah" atau Tarekat. Perbedaan antara keduanya terletak pada penggunaannya. Jika syari'ah digunakan dalam dimensi eksoterik, maka tarekat merupakan jalan berdimensi esoterik.
Secara terminologis Syari'ah dalam banyak pengertian ulama Islam adalah aturan-aturan atau hukum-hukum Tuhan yang tertuang dalam al Qur-an dan "Sunnah" (tradisi) Nabi Muhammad saw. Aturan-aturan ini meliputi kompleksitas kebutuhan manusia baik yang bersifat individual maupun kolektif. Dengan kata lain syari'ah adalah penubuhan (pelembagaan) kehendak Tuhan dengan mana manusia harus hidup secara pribadi dan bermasyarakat. Abu Ishak al Syathibi (w.790 H/1388 M), sarjana hukum Islam terkemuka dari Granada, menyatakan bahwa syari'ah merupakan aturan-aturan Tuhan dengan mana manusia "mukallaf" (dewasa) mendasarkan tindakan-tindakan, ucapan-ucapan dan keyakinan-keyakinannya. Inilah kandungan syari'ah secara global ( Al Muwafaqat fi Ushul al Ahkam , Muhammad Ali Subaih, Mesir, vol. I, hal. 49).
Secara lebih rinci, Syeikh Muhammad Ali al Sayis, anggota dewan riset Islam di Al Azhar, Kairo, menegaskan bahwa syari'ah adalah hukum-hukum Tuhan untuk hamba-hamba-Nya. Syari'ah dalam pandangannya mencakup tiga bidang besar Islam, yaitu akidah, akhlaq dan hukum (fiqh).( Nasy-ah al Fiqh al Ijtihadi wa Athwaruhu , Al Azhar, 1967, hal. 5) Pengertian ini diambil dari ayat al Qur-an : "Kemudian Kami jadikan kamu atas syari'ah dari urusan itu, maka ikutilah, dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui".(Q.S. Al Jatsiyah, 18).
Pengertian syari'ah di atas memperlihatkan kepada kita bahwa syari'ah merupakan keseluruhan (totalitas) bidang agama, bukan semata-mata bidang hukum atau aturan-aturan formal dalam relasi antar manusia. Tetapi Mahmud Syaltut, mantan Syeikh al Azhar, punya pandangan yang sedikit berbeda. Ia membagi ajaran-ajaran Islam dalam dua katagori : Aqidah dan Syari'ah. Dengan kata lain Islam adalah aqidah dan Syari'ah. Ini berarti bahwa syari'ah dibedakan pengertiannya dari aqidah. Syaltut mengatakan bahwa aqidah adalah dasar atau basis agama, sedangkan syari'ah adalah cabang. Al Islam Aqidah wa Syari'ah , hal. 4-7
Pemilahan yang sama juga dikemukakan oleh Syeikh Sayid Sabiq. Ia membuat dua katagori Islam dengan istilah yang berbeda, yaitu iman dan amal. Iman mewakili akidah sedangkan amal mewakili syari'ah. Pemilahan ini dirujuk dari sejumlah ayat-ayat al Qur-an, antara lain adalah : "Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh disediakan tempat tinggal sorga firdaus, mereka kekal di dalamnya, mereka tidak ingin berpindah dari sana" (Q.S Al Kahfi , 107-108. Baca pula : Q.S. al Nahl , 97, al Ashr, 1-2 dll.
Selanjutnya adalah menarik untuk mengemukakan pandangan Al Allamah al Thabathaba-iy, pemikir muslim dari Iran, ketika ia menguraikan perbedaan antara Syari'ah dan al Din . Ia mengatakan bahwa penggunaan kata Syari'ah dalam al Qur-an mempunyai arti lebih khusus daripada al Din . Syari'ah adalah jalan atau cara-cara yang ditempuh oleh suatu masyarakat/bangsa atau oleh seorang Nabi, seperti syari'at Nabi Nuh, syari'at Nabi Ibrahim, syari'at Nabi Musa, syari'at Nabi Isa dan syari'at Nabi Muhammad saw. Sementara din adalah jalan ketuhanan (al thariqah al ilahiyah) yang bersifat menyeluruh (universal) untuk semua bangsa. Syari'at bisa di naskh (dihapus/diganti), tetapi tidak untuk din . Al Mizan fi Tafsir al Qur-an , Al A'lami, Beirut, vol. V, hal.358)
Untuk mendukung pandangannya, Thabathaba-i mengutip ayat-ayat al Qur-an antara lain : "Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan ( syir'ah ) dan cara ( minhaj )".(Q.S. Al Maidah,48). Pandangan bahwa din adalah satu untuk semua orang, bersifat universal dan syari'ah bisa berbeda-beda juga dikemukakan oleh guru para ahli tafsir, Al Thabari. Qatadah, seorang Tabi'in, menurut Al Thabari, dalam komentarnya terhadap ayat di atas, mengatakan : "al din wahid wa al syari'ah mukhtalifah" ( Jami' al Bayan fi Takwil al Qur-an , Musthafa al Halabi, Mesir, cet. III, 1967,vol. VI,hal . 270).
Jamal al Banna dalam bukunya "Hurriyyah al I'tiqad" secara lebih elaboratif mengatakan : "Islam pada dasarnya adalah aqidah dan syari'ah. Obyek bahasan aqidah adalah hal-hal ketuhanan, risalah kenabian, hari akhirat dan hal-hal lain yang berkaitan dengan urusan manusia dengan Tuhan ( Ubudiah ). Sementara obyek bahasan syari'at adalah mu'amalat (sosial), siyasah (politik) dan iqtishad (ekonomi) dan hal-hal lain yang berkaitan dengan urusan manusia dengan manusia lainnya. Aqidah diarahkan pada urusan individu dan hati sedangkan syari'ah diarahkan pada hubungan sosial kemasyarakatan. (Jamal al Banna, Nahwa Fiqh Jadid, Dar al Fikr al Islami , Kairo, vol. I, hal. 31-32)
Pandangan terakhir ini menggambarkan bahwa syari'ah tidak lain adalah hukum-hukum (ketentuan-ketentuan) yang mengatur ekspresi dan aktualisasi keberagamaan (keyakinan) seorang muslim menurut kondisi sosio-kulturalnya masing-masing untuk sebuah cita-cita dalam kehidupan bersama. Syari'ah dengan begitu bukanlah tujuan itu sendiri, melainkan cara, sarana atau jalan. Jika ia bukan tujuan, maka tentu saja syari'ah bukan sesuatu yang stagnan atau berhenti, melainkan masih berjalan atau dalam perjalanan menuju kepada suatu tujuan.
Syari'ah adalah jalan untuk mewujudkan prinsip kemanusiaan
Dengan menyetujui pandangan bahwa syari'ah adalah jalan atau aturan-aturan yang mengatur tingkahlaku manusia, sebagai konsekwensi dari kepercayaannya (keyakinan kepada Tuhan), maka syari'ah tentulah selalu berdialog dengan perkembangan masyarakat manusia yang berbeda-beds dan berkembang. Syari'ah dapat dikatakan sebagai produk kebudayaan manusia dengan kesadaran dan basis ketuhanan. Dikatakan demikian, karena adalah tidak dapat diingkari bahwa Syari'ah bagaimanapun ditujukan dan diproyeksikan bagi kepentingan manusia. Tegasnya Syari'ah adalah untuk manusia, bukan untuk Tuhan. Fungsi Al Qur-an dan hadits (Sunnah) Nabi Muhammad saw adalah memberikan petunjuk sambil menunjukkan contoh-contoh konkrit bagaimana aturan hidup bersama perlu dijalankan oleh masyarakat dalam situasi yang riil. Pada perkembangannya teks-teks suci tersebut harus dipikirkan, ditafsirkan dan dimaknai oleh manusia. Satu hal yang menjadi kehendak atau keinginan Tuhan dalam rangka kasih sayangNya terhadap manusia adalah terwujudnya hubungan-hubungan kemanusiaan yang luhur, berkeadilan dan maslahat. Dalam bahasa agama relasi kemanusiaan yang luhur ini disebut al akhlaq al karimah . Inilah sesungguhnya yang menjadi visi dan missi kenabian Muhammad saw, sebagaimana diungkapkannya sendiri : "Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang luhur". Pada kesempatan lain al Qur-an juga menyebutkan bahwa tujuan penegakan syari'ah yang dibawa Nabi Muhammad Saw adalah mewujudkan kerahmatan semesta : "Aku tidak mengutus engkau (Muhammad), kecuali sebagai rahmat bagi alam selurunya (makhluk Tuhan)".
Di bawah visi besar tersebut,n Imam al Ghazali (w. 1111 M) kemudian merumuskan secara lebih lebih jauh mengenai tujuan syari'ah (maqashid al Syari'ah) dalam bukunya yang terkenal "Al Mustashfa" . Ia mengatakan bahwa tujuan Syari'ah adalah kemaslahatan, dan kemaslahatan dalam hal ini adalah terpelihara/terlindunginya lima hal : agama, jiwa, akal, keturunan dan harta benda". ( Al Mustashfa , I/281). Yakni perlindungan terhadap kepercayaan atau keyakinan keagamaan, perlindungan terhadap kebebasan berpendapat, perlindungan terhadap hak hidup, perlindungan terhadap hak reproduksi (berketurunan) dan perlindungan terhadap hak milik. Kita mungkin bisa menambahinya dengan prinsip-prinsip lain, misalnya perlindungan terhadap lingkungan alam. Al Syathibi (w. 1388 M), ahli hukum terkemuka dari Spanyol, yang mengembangkan lima prinsip di atas mengatakan bahwa lima prinsip ini adalah prinsip-prinsip yang dianut oleh seluruh agama-agama dan dunia kemanusiaan. Dengan demikian maka syari'ah atau aturan-aturan kehidupan yang bersifat partikular harus dirumuskan dengan mengacu pada lima prinsip kemanusiaan universal tersebut.
Sementara itu dalam bukunya yang terkenal, "I'lam al Muwaqqi'in", Ibnu al Qayyim mengatakan : "Syari'ah dibangun atas dasar dan tujuan mewujudkan kebijaksanaan dan kemaslahatan hamba-hamba Tuhan dalam kehidupan mereka di dunia dan di akhirat. Semuanya adil, semuanya maslahat, semuanya rahmat dan semuanya bijaksana. Setiap keputusan syari'ah yang tidak merealisasikan unsur-unsur ini, bukanlah bagian dari syari'ah".( I'lam al Muwaqqi'in , III/3).
Dalam bukunya yang lain, Ibnu al Qayyim al Jauziyah, mengutip pandangan Abu al Wafa ibn Aqil dalam "al Funun" , menyampaikan pandangannya yang cukup progresif (untuk tidak dikatakan liberal). Abu al Wafa, menurut Ibn Qayyim mengatakan bahwa : "Kebijakan publik (politik) merupakan aturan-aturan yang dapat mengarahkan terwujudnya kemaslahatan sosial dan menghindarkan kerusakan sosial, meskipun aturan-aturan tersebut tidak dibuat oleh Nabi dan tidak ada wahyu Tuhan yang menegaskannya. Yang paling penting adalah sejauh mana aturan-aturan yang dibuat tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip agama tersebut di atas. Pengambilan hukum secara tekstual (harfiyah) dari wahyu atau hadits Nabi Saw tidaklah suatu kemestian, bahkan cara seperti ini boleh jadi mewujudkan kondisi yang tidak sesuai dengan tujuan Syari'at.(Baca : Al Thuruq al Hukmiyyah fi al Siyasah al Syar'iyyah , 38).
Lebih jauh Ibnu Qayyim menegaskan bahwa hal paling mendasar untuk merumuskan hukum-hukum publik adalah keadilan. Prinsip ini harus diwujudkan dengan cara apapun dan dari manapun. Katanya :
"Jika telah tampak tanda-tanda keadilan dan memperlihatkan wajahnya dengan cara apapun, maka di situlah syari'at Allah dan agama-Nya".
Maka katanya lagi :
"Sesungguhnya tujuan Allah (dengan syari'ah) adalah menegakkan keadilan di antara hamba-hamba-Nya. Maka cara-cara apa pun yang menghasilkan keadilan adalah bagian dari agama dan tidak bertentangan dengannya".( Al Thuruq al Hukmiyyah , 39).
Akhirnya Sayed Hosen Nasr, salah seorang cendikiawan muslim kenamaan menyatakan : "Jantung atau inti Islam adalah penyaksian Ke-Esa-an Tuhan, Universalitas, Kebenaran, kemutlakan untuk tunduk kepada kehendak Tuhan, pemenuhan segala tanggungjawab manusia dan penghargaan terhadap seluruh makhluk hidup. Jantung atau inti Islam itu menggugah kesadaran kita untuk bangun dari mimpi yang melalaikan, ingat tentang siapa diri kita dan mengapa kita ada di sini dan untuk mengenal serta menghargai agama-agama yang lain".
Dalam pandangan saya tujuan-tujuan syari'at sebagaimana dikemukakan para ulama di atas sesungguhnya dapat diartikan sebagai mewujudkan penghargaan terhadap martabat manusia, siapapun dan dari latarbelakang apapun. Penghormatan terhadap martabat manusia adalah sesuatu yang universal, menyangkut semua orang di semua tempat dan di setiap waktu. Manusia adalah makhluk Tuhan paling terhormat, karena Tuhan sendiri menghormatinya.
Syari'ah Islam dan Multikulturalisme
Multikulturalisme dipahami oleh masyarakat Indonesia sebagai keberagaman atau kebhinekaan kebudayaan dan tradisi masyarakat. Dalam arti ini, maka multikulturalisme dimaksudkan sebagai kebijakan publik untuk mengelola keragaman budaya dalam sebuah masyarakat yang terdiri dari berbagai suku yang secara resmi menekankan sikap saling menghormati dan berlapang dada terhadap perbedaan-perbedaan budaya di dalam batas sebuah negara. Multikulturalisme menekankan ciri-ciri khas dari kebudayaan yang berbeda-beda. Melalui terminologi multikulturalisme ini, setiap orang diajak untuk menghormati dan menghargai spektrum yang luas tentang kebudayaan, agama, komunitas etnik, jenis kelamin, serta kelompok-kelompok lainnya yang ada di dalam masyarakat. Ini berarti bahwa multikulturalisme selalu meniscayakan adanya toleransi yang tinggi terhadap pandangan dan ekspresi-ekspresi kebudayaan yang berbeda-beda itu.
Keberagaman adalah sesuatu yang tidak bisa ditolak oleh siapapun. Ia adalah keniscayaan alam semesta, termasuk di dalamnya manusia. Tuhanlah yang menciptakan keragaman, kemajemukan atau kebhinekaan tersebut. Terdapat banyak sekali ayat al Qur-an yang menyebutkan keragaman budaya ini. "Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui" (Q.S. al Rum, 22). Di tempat lain al Qur-an menyatakan : "Wahai manusia, Kami telah menciptakan kamu laki-laki dan perempuan dan Kami jadikan kamu bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar kamu saling mengenal satu atas yang lain. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Tuhan adalah yang paling bertaqwa kepada-Nya" .(Q.S. al Hujurat, 13).
Atas dasar inilah kita dapat mengatakan bahwa pada dasarnya manusia dengan segala perbedaannya ; latarbelakang kultural, agama, etnis, jenis kelamin, tempat tinggal dan lain-lain, memiliki kedudukan yang sama di hadapan Tuhan. Oleh karena demikian, maka adalah logis bahwa masing-masing harus saling menghargai perbedaan-perbedaan itu. Perbedaan manusia dengan begitu tidak boleh menjadi dasar untuk membeda-bedakan .
Sejauh yang dapat dibaca dalam sejarah peradaban Islam upaya ke arah membangun toleransi dan memahamkan keberagaman realitas telah banyak dilakukan oleh kaum muslim awal. Upaya tersebut tidak hanya dilakukan terhadap mereka yang berbeda keyakinan keagamaan, melainkan juga di antara kaum muslimin sendiri. Karena perbedaan di antara mereka baik dalam aspek hukum Islam maupun aspek Ilmu Kalam, seringkali memunculkan konflik dan permusuhan, meskipun sumber acuan mereka sama, yaitu al Qur-an dan hadits Nabi Saw. Perbedaan di antara mereka sesungguhnya lebih pada cara dan jalan memaknai teks-teks yang menjadi sumber utama syari'ah tersebut. Banyak di kalangan ulama yang berusaha memadukan antara pemaknaan tekstualis dan substansialis, antara naql dan aql , antara syari'ah dan hikmah dan antara yang lahir dan yang batin. Satu di antara mereka adalah Ibnu Rusyd al Hafid melalui bukunya yang terkenal : "Fashl Maqal fi Maa Baina al Syari'ah wa al Hikmah min al Ittishal" . Ibnu Rusyd melalui buku ini mencoba mencari jalan keluar bagi kemelut perebutan makna di atas. Dia terlebih dahulu menegaskan tidak adanya perbedaan kaum muslimin dalam hal bahwa agama Islam adalah ilahiyah, dan bahwa agama atau Tuhan menginginkan kehidupan manusia yang baik dan bahagia. Menurutnya naql dan aql atau agama dan filsafat bukanlah dua hal yang berhadapan secara dikotomis. Ia mengatakan : " al Haqq la yudhad al Haqq bal yawafiquh wa yasyhadu lahu" , kebenaran tidak akan bertentangan dengan kebenaran tetapi saling mengapresiasi dan mendukung. Kebenaran akal dan kebenaran naql tidak saling bertentangan. Ia juga mengatakan : "al Hikmah Shahib al Syari'ah wa al Ukht al Radhi'ah" , akal/filsafat adalah teman syari'ah dan saudara sesusuan. Keduanya berasal dari Tuhan. Ia selanjutnya mengatakan :
"Jika 'syari'at' (teks agama) bicara, maka ia bisa sejalan dengan logika dan bisa juga bertentangan. Jika sesuai, maka tidak ada masalah. Tetapi jika bertentangan, maka perlu ditakwil". (Ibnu Rusyd, "Fashl al Maqal fi Maa Baina al Syari'ah wa al Hikmah min al Ittishal ", dalam Muhammad Abid al Jabiri, Markaz Dirasat al Wahdah al Arabiyah, Beirut, cet. I, 1997, hlm. 96-97.
Takwil tidak sekedar tafsir metaforis (majaz) tetapi lebih dari itu adalah memahami teks melalui banyak hal, konteks bahasa ( al siyaq al lisani/lughawi ), konteks sosial ( al siyaq al zharfi al ijtima'i ), dan lain-lain. Dalam konteks sekarang barangkali bisa dimaknai sebagai "hermeneutik" ( takwil ).
Generasi muslim awal menurut Ibnu Rusyd sepakat bahwa teks-teks agama tidak selalu harus dimaknai menurut lahirnya dan tidak seluruhnya harus ditakwil atau ditafsiri. "Orang yag menggunakan takwil tidaklah kafir. Bagaimana ia dikafirkan, padahal tidak seorangpun ahli Islam yang tidak terlibat dalam takwil", kata al Ghazali. Imam Ahmad bin Hanbal yang oleh banyak ulama menolak takwil pun, menurut al Ghazali ternyata melakukan takwil paling tidak dalam tiga teks hadits. (Al Ghazali, Faishal al Tafriqah baina al Islam wa al Zandaqah , 184).
Di dalam aspek hukum Islam (fiqh) juga terdapat pandangan yang berbeda-beda. Secara garis besar pandangan tersebut dikelompokkan menjadi dua aliran, yaitu aliran atau fiqh "ahl al hadits" dan aliran atau fiqh "ahl al ra'yi" . Aliran yang pertama lebih cenderung memahami teks secara harfiyah atau skriptual, sementara yang kedua lebih cenderung pada pemahaman rasional. Perbedaaan pandangan hukum ini tetap berlangsung sepanjang sejarah peradaban Islam sampai hari ini bahkan mungkin sampai hari kiamat. Perbedaan pandangan para ulama tersebut, menurut Faruq Abu Zaid, tidak lain adalah refleksi mereka atas perkembangan kehidupan sosial-budaya mereka masing-masing. ( Al Syari'ah al Islamiyah Baina al Muhafizhin wa al Mujaddidin ,16).
Beberapa contoh untuk hal di atas dapat dikemukakan. Misalnya tentang alat menakar dan menimbang ( al maqadir wa al maqayis ), alat pembayaran, ukuran kecukupan nafkah untuk isteri/keluarga, alat untuk menggosok gigi dan lain-lain. Abu Hanifah membolehkan perempuan dewasa menikahkan dirinya sendiri, sementara para Imam yang lain melarangnya. Imam Malik tidak memadang najis tubuh anjing, kecuali air liurnya. Ini berbeda dengan pendapat ulama yang lain. Abu Hanifah membolehkan penggunaan kain sutera untuk diduduki laki-laki, sementara Imam Malik mengharamkannya. Dan masih banyak lagi. Para ahli hukum Islam kemudian menegaskan bahwa tradisi bisa menjadi dasar hukum : "al 'Adah Muhakkamah" . Bahkan mereka lebih jauh menyatakan : "al Tsasbit bi al 'Urf ka al Tsabit bi al Nash" (Apa yang ditetapkan berdasarkan tradisi adalah sama dengan yang ditetapkan berdasarkan teks/nash). Tentang jenis-jenis binatang apa saja yang bisa dimakan, selain yang sudah ditetapkan Tuhan, ditetapkan berdasarkan adat kebiasaan orang-orang Arab. Para ulama mengemukakan kaedah : "kullu ma istathabathu al Arab fa huwa halal, wa ma istakhbatsathu al Arab fa huwa haram" .(setiap jenis binatang yang oleh orang Arab dipandang baik, adalah halalm dan apa saja yang dipandang orang Arab menjijikkan, adalah haram).
Para Ulama saling menghargai
Adalah menarik untuk dikemukakan bahwa para ahli hukum Islam sungguh sangat memahami benar perbedaan-perbedaan di antara mereka, dan atas perbedaan-perbedaan itu pula mereka masing-masing saling menghargai dan menghormati. Mereka selalu mengutip pernyataan Nabi Saw : "Jika seseorang telah berusaha secara maksimal menggali dan melahirkan hukum Syari'ah (berijtihad) dan ijtihadnya benar, maka dia memperoleh dua pahala dan jika keliru memperoleh satu pahala". Dalam keadaan demikian mereka saling menghargai sambil mengatakan : "pendapat kami benar, meskipun boleh jadi keliru, dan pendapat orang lain keliru, meskipun boleh jadi benar".
Satu pemikiran yang sangat menarik dikemukakan oleh Imam Malik bin Anas (w. 796 M), pendiri mazhab fiqh Maliki. Suatu saat ia diminta oleh Khalifah Abbasiyah ; Abu Ja'far al Manshur, agar buku kumpulan hadits-hadits hukum; Al Muwattha' , karyanya, bisa dijadikan pedoman perundang-undangan yang akan diberlakukan bagi seluruh rakyat di kekhilafahannya. Sang Imam dengan tegas menolaknya sambil mengatakan : "Anda tentu tahu bahwa di berbagai wilayah negeri ini telah berkembang beragam tradisi hukum dengan pemimpinnya masing-masing". Sang Khalifah pada kesempatan lain mengulangi permintaannya, dan sekali lagi sang Imam tetap menolaknya. Permintaan yang sama disampaikan khalifah penggantinya ; Harun al Rasyid. Dan jawaban yang sama disampaikan Imam Malik. Ia bergeming, sambil geleng kepala. (Baca : Subhi Mahmashani, Falsafah al Tasyri' , 89-90).
Sebagaimana diketahui, Imam Malik bin Anas adalah tokoh yang terkenal dengan teori "Amal Ahli Madinah" (tradisi penduduk Madinah) nya. Pendapat-pendapatnya banyak didasarkan atas tradisi Madinah. Lebih dari empat puluh masalah di mana Imam Malik mendasarkan pandangannya pada tradisi dan mengabaikan hadits Ahad, meskipun sahih. Katanya "Al 'Amal atsbat min al Hadits" (Tradisi Madinah lebih kokoh daripada hadits). (Baca : Al Hajwi, Al Fikr al Sami fi al Fiqh al Islamy , I/388-390).
Pengalaman Indonesia
Demikianlah, maka adalah jelas bahwa multikulturalisme telah mendapat apresiasi yang kuat dalam Islam. Para ulama besar masa lalu juga telah menjadikan budaya atau tradisi masyarakat sebagai dasar hukum. Cara-cara melaksanakan syari'ah seperti ini juga telah dilakukan para ulama, terutama para penyebar agama Islam di Indonesia (para Wali). Beberapa contoh misalnya praktik kenduri baik untuk perkawinan atau khitan atau keperluan lain, penggunaan kentongan atau bedug untuk memanggil/mengajak orang untuk shalat, di samping Adzan, penggunaan kain sarung dan peci. Demikian pula sistem pendidikan pesantren, bahkan juga istilah pesantren dan santri, atau arsitektur bangunan masjid yang didirikan para walisanga. Ini semua jelas bukan cara-cara yang dipraktekkan oleh Nabi dan para sahabatnya, tetapi justeru diserap atau diadopsi dari tradisi dan budaya masyarakat Hindu atau lainnya. Di Banjarmasin, seorang ulama besar ; Syeikh Muhammad Arsyad, telah memperkenalkan hukum pembagian harta waris antara suami-isteri berdasarkan adat yang disebut "Adat Perpantangan". Menurut adat ini harta peninggalan mayit dibagi dua terlebih dahulu antara suami dan isteri. Setelah itu harta hasil pembagian ini baru dibagi berdasarkan hukum waris Islam. Pemikiran hukum ini dilakukan dalam rangka merespon tradisi masyarakat Banjar, di mana para isteri di sana juga bekerja bersama suaminya. Maka harta yang terkumpul akibat perkawinan keduanya menjadi harta bersama. (Baca; Abdurrahman Wahid, majalah Pesantren , 2 vol. II/1985).Cara pembagian seperti ini telah menjadi bagian dari sistem hukum waris di Indonesia dengan sebutan harta "gono-gini", menggantikan sistem pembagian "sepikul-segendong".
Kata Akhir
Kehendak untuk melaksanakan syari'at Islam dalam konteks kebudayaan masyarakat yang beragam, sesungguhnya bukanlah masalah, sepanjang sejalan prinsip-prinsip dan tujuan-tujuan Syari'at sebagaimana diuraikan dimuka, yakni dalam kerangka mewujudkan keadilan dan kemaslahatan sosial, seraya dengan selalu menghargai pandangan-pandangan dan tradisi-tradisi yang beragam dalam masyarakat tersebut. Dengan begitu, maka upaya ke arah itu tidak bisa dilakukan dengan memaksakan kehendak dengan mengatasnamakan golongan, suku, ras, jenis kelamin dan bahkan agama. Ia juga tidak boleh dilakukan dengan mendiskriditkan atau menstigmatisasi negatifkan, seperti membid'ahkan (mencap sesat) apalagi mengkafirkan atau memusyrikkan pihak-pihak yang tidak sependapat pada sisi yang lain. Sebuah pernyataan menarik dikemukakan oleh Dalai Lama. Katanya : "Jika kita sungguh-sungguh ingin melakukan sesuatu untuk mewujudkan kebebasan dan keadilan, maka cara yang terbaik adalah melakukannya dengan tanpa amarah dan permusuhan".
Dalam sistem ketatanegaraan yang telah kita sepakati, proses penyusunan hukum harus ditempuh melalui cara-cara yang demokratis dan dalam kerangka keadilan sosial. Akan tetapi segera harus dikemukakan bahwa cara-cara yang demokratis tersebut tidak hanya dalam artian prosedural melainkan juga dalam arti substantif. Dengan begitu, dikhotomi mayoritas dan minoritas menjadi tidak relevan. Perumusan aturan perundang-undangan harus dilakukan dengan cara musyawarah untuk mencapai kesepakatan bersama. Musyawarah dalam Islam merupakan prinsip dalam menyelesaikan problem dan ketidaksamaan pandangan dalam segala relasi.
Pada sisi yang lain, kita juga mengetahui bahwa aturan-aturan hukum dan regulasi-regulasi harus mengacu pada dalam sistem perundang-undangan yang berlaku. Sebuah produk peraturan tertentu tidak boleh bertentangan dengan produk peraturan di atasnya. Dari sinilah, maka produk hukum daerah (Perda) tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang, dan produk UU juga tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945 dan dasar negara Pancasila. Para ulama NU dalam keputusan Muktamarnya di Situbondo tahun 1984, memandang bahwa Pancasila adalah dasar negara Indonesia dengan kedudukan final berdasarkan syari'at Islam. Ia tidak bertentangan dengan syari'at Islam. Bahkan jika kita membaca pernyataan Ibnu al Qayyim dan Abu Ishaq al Syathibi di atas, boleh jadi kita dapat mengatakan bahwa Pancasila sejalan dengan prinsip-prinsip humanisme Universal Islam. Sampai hari ini Pancasila telah mampu menyatukan kebhinekaan masyarakat Indonesia.

‘ILM MUNÂSABAH :
Menuju Pemahaman Holistik al-Qur’an
Oleh : Anjar Nugroho
A. Pendahuluan
Al-Qur’an adalah kalam Allah (verbum dei)http://pemikiranislam.wordpress.com/2007/08/23/teori-munasabah-al-quran/ - _ftn1 yang sekaligus merupakan mukjizat, yang diturunkan kepada Muhammad SAW dalam bahasa Arab, yang sampai kepada umat manusia dengan cara al-tawâtur (langsung dari Rasul kepada umatnya), yang kemudian termaktub dalam mushaf. Kandungan pesan Ilahi yang disampaikan nabi pada permulaan abad ke-7 itu telah meletakkan basis untuk kehidupan individual dan sosial bagi umat Islam dalam segala aspeknya. Al-Qur’an berada tepat di jantung kepercayaan Muslim dan berbagai pengalaman keagamaannya. Tanpa pemahaman yang semestinya terhadap al-Qur’an, kehidupan pemikiran dan kebudayaan Muslimin tentunya akan sulit dipahami.
Sejumlah pengamat Barat memandang al-Qur’an sebagai suatu kitab yang sulit dipahami dan diapresiasi. Bahasa, gaya, dan aransemen kitab ini pada umumnya menimbulkan masalah khusus bagi mereka. Sekalipun bahasa Arab yang digunakan dapat dipahami, terdapat bagian-bagian di dalamnya yang sulit dipahami.http://pemikiranislam.wordpress.com/2007/08/23/teori-munasabah-al-quran/ - _ftn2 Kaum Muslim sendiri untuk memahaminya, membutuhkan banyak kitab Tafsir dan Ulum al-Qur’an. Sekalipun demikian, masih diakui bahwa berbagai kitab itu masih menyisakan persoalan terkait dengan belum semuanya mampu mengungkap rahasia al-Qur’an dengan sempurna.
Ulum al-Qur’an sebagai metodologi tafsir sudah terumuskan secara mapan sejak abad ke 7-9 Hijriyah, yaitu saat munculnya dua kitab Ulum al-Qur’an yang sangat berpengaruh sampai kini, yakni al-Burhan fi Ulum al-Qur’an, karya Badr al-Din al-Zarkasyi (w.794 H) dan al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, karya Jalal al-Din al-Suyuthi (w. 911 H).
‘Ilm Munâsabahhttp://pemikiranislam.wordpress.com/2007/08/23/teori-munasabah-al-quran/ - _ftn3 (ilmu tentang keterkaitan antara satu surat/ayat dengan surat/ayat lain) merupakan bagian dari Ulum al-Qur’an. Ilmu ini posisinya cukup urgen dalam rangka menjadikan keseluruhan ayat al-Qur’an sebagai satu kesatuan yang utuh (holistik). Sebagaimana tampak dalam salah satu metode tafsir Ibn Katsirhttp://pemikiranislam.wordpress.com/2007/08/23/teori-munasabah-al-quran/ - _ftn4 ; al-Qur’an yufassirû ba’dhuhu ba’dhan, posisi ayat yang satu adalah menafsirkan ayat yang lain, maka memahami al-Qur’an harus utuh, jika tidak, maka akan masuk dalam model penafsiran yang atomistik (sepotong-sepotong).
B. Pengertian
Menurut Imam al-Zarkasyihttp://pemikiranislam.wordpress.com/2007/08/23/teori-munasabah-al-quran/ - _ftn5 kata munâsabah menurut bahasa adalah mendekati (muqârabah), seperti dalam contoh kalimat : fulan yunasibu fulan (fulan mendekati/menyerupai fulan). Kata nasib adalah kerabat dekat, seperti dua saudara, saudara sepupu, dan semacamnya. Jika keduanya munâsabah dalam pengertian saling terkait, maka namanya kerabat (qarabah). Imam Zarkasyi sendiri memaknai munâsabah sebagai ilmu yang mengaitkan pada bagian-bagian permulaan ayat dan akhirnya, mengaitkan lafadz umum dan lafadz khusus, atau hubungan antar ayat yang terkait dengan sebab akibat, ‘illat dan ma’lul, kemiripan ayat, pertentangan (ta’arudh) dan sebagainya. Lebih lanjut dia mengatakan, bahwa keguanaan ilmu ini adalah “menjadikan bagian-bagian kalam saling berkait sehingga penyusunannya menjadi seperti bangunan yang kokoh yang bagian-bagiannya tersusun harmonis”
Manna’ al-Qattanhttp://pemikiranislam.wordpress.com/2007/08/23/teori-munasabah-al-quran/ - _ftn6 dalam kitabnya Mabahits fi Ulum al-Qur’an, munâsabah menurut bahasa disamping berarti muqarabah juga musyakalah (keserupaan). Sedang menurut istilah ulum al-Qur’an berarti pengetahuan tentang berbagai hubungan di dalam al-Qur’an, yang meliputi : Pertama, hubungan satu surat dengan surat yang lain; kedua, hubungan antara nama surat dengan isi atau tujuan surat; ketiga, hubungan antara fawatih al-suwar dengan isi surat; keempat, hubungan antara ayat pertama dengan ayat terakhir dalam satu surat; kelima, hubungan satu ayat dengan ayat yang lain; keenam, hubungan kalimat satu dengan kalimat yang lain dalam satu ayat; ketujuh, hubungan antara fashilah dengan isi ayat; dan kedelapan, hubungan antara penutup surat dengan awal surat
Munâsabah antar ayat dan antar surat dalam al-Qur’an didasarkan pada teori bahwa teks merupakan kesatuan struktural yang bagian-bagiannya saling terkait.http://pemikiranislam.wordpress.com/2007/08/23/teori-munasabah-al-quran/ - _ftn7 Sehingga ‘ilm munâsabah dioperasionalisasikan untuk menemukan hubungan-hubungan tersebut yang mengaitkan antara satu ayat dengan ayat yang lain di satu pihak, dan antara satu ayat dengan ayat yang laijn di pihak yang lain. Oleh karena itu, pengungkapan hubungan –hubungan itu harus mempunyai landasan pijak teoritik dan insight (wawasan) yang dalam dan luas mengenai teks.
C. Postulat dan Alas Teoritik
Jika ilmu tentang asbab al-nuzul mengaikan satu ayat atau sejumlah ayat dengan konteks historisnya, maka ‘ilm munâsabah melampui kronologi historis dalam bagian-bagian teks untuk mencari sisi kaitan antar ayat dan surat menurut urutan teks, yaitu yang disebut dengan “urutan pembacaan” sebagai lawan dari “urutan turunnya ayat”.http://pemikiranislam.wordpress.com/2007/08/23/teori-munasabah-al-quran/ - _ftn8
Jumhur ulama telah sepakat bahwa urutan ayat dalam satu surat merupakan urutan-urutan tauqifi, yaitu urutan yang sudah ditentukan oleh Rasulullah sebagai penerima wahyu. Akan tetapi mereka berselisih pendapat tentang urutan-urutan surat dalam mushaf, apakah itu taufiqi atau tauqifi (pengurutannya berdasarkan ijtihad penyusun mushaf).http://pemikiranislam.wordpress.com/2007/08/23/teori-munasabah-al-quran/ - _ftn9
Nasr Hamid Abu Zaid, wakil dari ulama kontemporer, berpendapat bahwa urutan-urutan surat dalam mushaf sebagai tauqifi, karena menurut dia, pemahaman seperti itu sesuai dengan konsep wujud teks imanen yang sudah ada di lauh mahfudz. Perbedaan antara urutan “turun” dan urutan “pembacaan” merupakan perbedaan yang terjadi dalam susunan dan penyusunan yang pada gilirannya dapat mengungkapkan “persesuaian” antar ayat dalam satu surat, dan antar surat yang berbeda, sebagai usaha menyingkapkan sisi lain dari I’jaz.http://pemikiranislam.wordpress.com/2007/08/23/teori-munasabah-al-quran/ - _ftn10
Secara sepintas jika diamati urut-urutan teks dalam al-Qur’an mengesankan al-Qur’an memberuikan informasi yang tidak sitematis dan melompat-lompat. Satu sisi realitas teks ini menyulitkan pembacaan secara utuh dan memuaskan, tetapi sebagaimana telah disinggung oleh Abu Zaid, realitas teks itu menujukkan ‘stalistika’ (retorika bahasa) yang merupakan bagian dari I’jaz al-Qur’an aspek kesusasteraan dan gaya bahasa. Maka dalam konteks pembacaan secara holistik pesan spiritual al-Qur’an, salah satu instrumen teoritiknya adalah dengan ‘ilm munâsabah.
Keseluruhan teks dalam al-Qur’an, sebagaimana juga telah disinggung di muka, merupakan kesatuan struktural yang bagian-bagiannya saling terkait. Keseluruhan teks al-Qur’an menghasilkan weltanschauung (pandangan dunia) yang pasti. Dari sinilah umat Islam dapat memfungsikan al-Qur’an sebagai kitab petunjuk (hudan) yang betul-betul mencerahkan (enlighten) dan mencerdaskan (educate). Akan tetapi Fazlur Rahmanhttp://pemikiranislam.wordpress.com/2007/08/23/teori-munasabah-al-quran/ - _ftn11 menengarai adanya kesalahan umum di kalangan umat Islam dalam memahami pokok-pokok keterpaduan al-Qur’an, dan kesalahan ini terus dipelihara, sehingga dalam praksisnya umat Islam dengan kokohnya berpegang pada ayat-ayat secara terpisah-pisah. Fazlur Rahman mencatat, akibat pendekatan “atomistik” ini adalah, seringkali umat terjebak pada penetapan hukum yang diambil atau didasarkan dari ayat-ayat yang tidak dimaksudkan sebagai hukum.
Fazlur Rahman nampaknya dipengaruhi oleh al-Syatubi (w. 1388) seorang yuris Maliki yang terkenal, dalam bukunya al-muwafiqat, tentang betapa mendesak dan amsuk akalnya untuk memahami al-Qur’an sebagai suatu ajaran yang padu dan kohesif.http://pemikiranislam.wordpress.com/2007/08/23/teori-munasabah-al-quran/ - _ftn12 Dari sisi ini, maka yang bernilai mutlak dalam al-Qur’an adalah “prinsip-prinsip umumnya” (ushul al-kulliyah) bukan bagian-bagiannya secara ad hoc. Bagian-bagian ad hoc al-Qur’an adalah respon spontanitasnya atas realitas historis yang tidak bisa langsung diambil sebagai problem solving atas masalah-masalah kekinian. Tetapi bagian-bagian itu harus direkonstruksi kembali dengan mempertautkan antara satu dengan yang lain, lalu diambil inti syar’inya (hikmah at-tasyri’) sebagai pedoman normatif (idea moral), dan idea moral al-Qur’an kemudian dikontektualisasikan untuk menjawab problem-problem kekinian.
Tentu untuk melakukan pembacaan holistik terhadap al-Qur’an tersebut membutuhkan metodologi dan pendekatan yang memadai. Metodologi dan pendekatan yang telah dipakai oleh para mufassir klasik menyisakan masalah penafsiran, yaitu belum bisa menyuguhkan pemahaman utuh, komprehensif, dan holistik. ‘Ilm munâsabah sebenarnya memberi langkah strategis untuk melakukan pembacaan dengan cara baru (al-qira’ah al-muashirah) asalkan metode yang digunakan untuk melakukan “perajutan” antar surat dan antar ayat adalah tepat. Untuk itu perlu dipikirkan penggunaan metode dan pendekatan hermeneutika dan antropologi filologis dalam ‘ilm munâsabah.
D. Bentuk-Bentuk munâsabah
a. Munâsabah antarsurat
Munâsabah antarsurat tidak lepas dari pandangan holistik al-Qur’an yang menyatakan al-Qur’an sebagai “satu kesatuan” yang “bagian-bagian strukturnya terkait secara integral”. Pembahasan tentang munâsabah antarsurat dimulai dengan memposisikan surat al-Fatihah sebagai Ummu al-Kitab (induk al-Qur’an), sehingga penempatan surat tersebut sebagai surat pembuka (al-Fâtihah) adalah sesuai dengan posisinya yang merangkum keseluruhan isi al-Qur’an. Penerapan munâsabah antarsurat bagi surat al-Fâtihah dengan surat sesudahnya atau bahkan keseluruhan surat dalam al-Qur’an menjadi kajian paling awal dalam pembahasan tentang masalah ini.
Surat al-Fâtihah menjadi ummu al-Kitab, sebab di dalamnya terkandung masalah tauhid, peringatan dan hukum-hukum,http://pemikiranislam.wordpress.com/2007/08/23/teori-munasabah-al-quran/ - _ftn13 yang dari masalah pokok itu berkembang sistem ajaran Islam yang sempurna melalui penjelasan ayat-ayat dalam surat-surat setelah surat al-Fâtihah. Ayat 1-3 surat al-Fâtihah mengandung isi tentang tauhid, pujian hanya untuk Allah karena Dia-lah penguasa alam semesta dan Hari Akhir, yang penjelasan rincinya dapat dijumpai secara tersebar di berbagai surat al-Qur’an. Salah satunya adalah surat al-Ikhlas yang konon dikatakan sepadan dengan sepertiga al-Qur’an. Ayat 5 surat al-Fâtihah (Ihdina ash-shirâtha al-mustaqîm) mendapatkan menjelasan lebih rinci tentang apa itu “jalan yang lurus” di permulaan surat al-Baqarah (Alim, Lam, Mim. Dzalika al-kitabu la raiba fih, hudan li al-muttaqin). Atas dasar itu dapat disimpulkan bahwa teks dalam surat al-Fâtihah dan teks dalam surat al-Baqarah berkesesuaian (munâsabah).
Contoh lain dari munasabah antarsurat adalah tampak dari munasabah antara surat al-Baqarah dengan surat Ali Imran. Keduanya menggambarkan hubungan antara “dalil” dengan “keragu-raguan akan dalil”. Maksudnya, surat al-Baqarah “merupakan surat yang mengajukan dalil mengenai hukum”, karena surat ini memuat kaidah-kaidah agama, sementara surat ali Imran “sebagai jawaban atas keragu-raguan para musuh Islam”.http://pemikiranislam.wordpress.com/2007/08/23/teori-munasabah-al-quran/ - _ftn14
Lantas bagaimana hubungan antara surat Ali Imran dengan surat sesudahnya? Pertanyaan itu dapat dijawab dengan menampilkan fakta bahwa setelah keragu-raguan dijawab oleh surat Ali Imran, maka surat berikutnya (an-Nisa’) banyak memuat hukum-hukum yang mengatur hubungan sosial, kemudian hukum-hukium ini diperluas pembahasannya dalam surat al-Maidah yang memuat hukum-hukum yang mengatur hubungan perdagangan dan ekonomi. Jika legislasi, baik dalam aras hubunhgan sosial ataupun ekonomi, hanya merupakan instrumen bagi tercapainya tujuan dan sasaran lain, yaitu perlindungan terhadap keamanan masyarakat, maka tujuan dan sasaran tersebut terkandung dalam surat al-An’am dan surat al-A’rafhttp://pemikiranislam.wordpress.com/2007/08/23/teori-munasabah-al-quran/ - _ftn15.
b. Munâsabah antarayat
Kajian tentang munasabah antarayat, sama seperti kajian tentang munasabah antarsurat, berusaha menjadikan teks al-Qur’an sebagai kesatuan umum yang mengacu kepada berbagai hubungan yang mempunyai corak – dalam istilah yang dipakai Abu Zaid – “interptretatif”.http://pemikiranislam.wordpress.com/2007/08/23/teori-munasabah-al-quran/ - _ftn16 Abu Zaid dalam mengkaji munasabah antarayat tidak memasukkan unsur eksternal, dan tidak pula berdasarkan pada bukti-bukti di luar teks. Akan tetapi teks dalam ilmu ini merupakan bukti itu sendiri.
Dalam memberi contoh munasabah antarayat, penulis akan mengemukakan bagaimana Muhammad Syahrour menafsirkan dan mengaitkan satu ayat dengan ayat lain untuk menampilkan makna otentik, yang dalam hal ini penulis pilihkan tentang masalah poligami. :
Al-Qur’an surat an-Nisa’(4) ayat 3 adalah ayat yang menjadi rujukan fundamental (dan satu-satunya) dalam urusan poligami dalam ajaran Islam :
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil (an lâ tuqsithǔ) terhadap hak-hak perempuan yatim (bila kamu mengawininya), maka kawinlah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan berlaku adil (an lâ ta’dilǔ), kama (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya” (Q.S. an-Nisa’/4:3)
Syahrur (1992)http://pemikiranislam.wordpress.com/2007/08/23/teori-munasabah-al-quran/ - _ftn17 dalam magnum opus-nya al-Kitâb wa-al-Qur’ân : Qirâ’ah mu’âsyirah, menjelaskan kata tuqsithǔ berasal dari kata qasatha dan ta’dilǔ berasal dari kata ‘adala. Kata qasatha dalam lisân al-Arâb mempunyai dua pengertian yang kontradiktif; makna yang pertama adalah al-‘adlu (Q.S. al-Mâidah/5:42, al-Hujarât/49:9, al-Mumtahanah/60:8). Sedangkan makna yang kedua adalah al-Dzulm wa al-jŭr (Q.S. al-Jinn/72:14). Begitu pula kata al-adl, mempunyai dua arti yang berlainan, bisa berarti al-istiwa’ (baca sama, lurus) dan juga bisa berarti al-a’waj (bengkok). Di sisi lain ada berbedaan dua kalimat tersebut, al-qasth bisa dari satu sisi saja, sedang al-’adl harus dari dua sisi.
Dari makna mufradat kata-kata kunci (key word) Q.S an-Nisa’/4:3 menurut buku al-Kitâb wa-al-Qur’ân : Qirâ’ah mu’âsyirah karya Syahrur, maka diterjemahkan dalam versi baru (baca : Syahrur) ayat itu sebagai berikut :
“Kalau seandainya kamu khawatir untuk tidak bisa berbuat adil antara anak-anakmu dengan anak-anak yatim (dari istri-istri jandamu) maka jangan kamu kawini mereka. (namun jika kamu bisa berbuat adil, dengan memelihara anak-anak mereka yang yatim), maka kawinilah para janda tersebut dua, tiga atau empat. Dan jika kamu khawatir tidak kuasa memelihara anak-anak yatim mereka, maka cukuplah bagi kamu satu istri atau budak-budak yang kamu mikili. Yang demikian itu akan lebih menjaga dari perbuatan zalim (karena tidak bisa memelihara anak-anak yatim)”
Ayat di atas adalah kalimat ma’thufah (berantai) dari ayat sebelumbya “wa in …” yang merupakan kalimat bersyarat dalam kontek haqq al-yatâmâ, “Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (wa âthǔ al-yatâmâ) harta mereka. Jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakana (menukar dan memakan) itu adalah dosa yang besar” (Q.S. an-Nisa’/4:2) Dan jika teori batas (nadhariyah hududiyah) Syahrur diterapkan dalam menganalisis ayat itu, maka kan memunculkan dua macam al-hadd, yaitu hadd fi al-kamm (secara kuantitas) dan hadd fi al-kayf (secara kualitas).
Pertama, hadd fi al-kamm. Ayat itu menjelaskan bahwa hadd al-adnâ atau jumlah minimal istri yang diperbolehkan syara’ adalah satu, karena tidak mungkin seorang beristri setengah. Adapun hadd al-a’la atau jumlah maksimum yang diperbolehkan adalah empat. Manakala seseorang beristri satu, dua, tiga atau empat orang, maka dia tidak melanggar batasan-batasan yang telah ditetapkan oleh Allah, tapi jikalau seseorang beristri lebih dari empat, maka dia telah melanggar hudŭd Allah. Pemahaman ini yang telah disepakati selama empat belas abad yang silam, tanpa memperhatikan konteks dan dalam kondisi bagaimana ayat tersebut memberikan batasan (hadd fi al-kayf).
Kedua, hadd fi al-kayf. Yang dimaksud di sini adalah apakah istri tersebut masih dalam kondisi bikr (perawan) atau tsayyib/armalah (janda)? Syahrur mengajak untuk melihat hadd fi al-kayf ini karena ayat yang termaktub memakai shighah syarth, jadi seolah-olah, menurut Syahrur, kalimatnya adalah : “Fankihǔ mâ thaba lakum min al-nisâ’ matsnâ wa thulâtsâ wa rubâ’ …” dengan syarat kalau “ wa in khiftum an lâ tuqsithū fi al-yatâmâ …”. Dengan kata lain untuk istri pertama tidak disyaratkan adanya hadd fi al-kayf, maka diperbolehkan perawan atau janda, sedangkan pada istri kedua, ketiga dan keempat dipersyaratkan dari armalah/ (janda yang mempunyi anak yatim). Maka seorang suami yang menghendaki istri lebih dari satu itu akan menanggung istri dan anak-anaknya yang yatim. Hal ini, menurut Syahrur, akan sesuai dengan pengertian ‘adl yang harus terdiri dari dua sisi, yaitu adil kepada anak-anaknya dari istri pertama dengan anak-anak yatim dari istri-istri berikutnya.http://pemikiranislam.wordpress.com/2007/08/23/teori-munasabah-al-quran/ - _ftn18
Interpretasi seperti itu dikuatkan dengan kalimat penutup ayat :”dzâlika adnâ an lâ ta’ūlū”. Karena ya’ūlū berasal dari kata aul artinya katsratu al-iyâl (banyak anak yang ditanggung), maka yang menyebabkan terjadinya tindak kedzaliman atau ketidakadilan terhadap mereka. Maka ditegaskan kembali oleh Syahrur, bahwa ajaran Islam tentang poligami, bukan sekedar hak atau keleluasaan seorang suami untuk beristri lebih dari satu, akan tetapi yang lebih esensial dari itu adalah pemeliharaan anak-anak yatim. Maka dalam konteks poligami di sini tidak dituntut adâlah (keadilan) antar istri-istrinya (lihat firman Allah Q.S. al-Nisa’/4:129).
Bentuk lain munasabah antar ayat adalah tampak dalam hubungan antara ayat pertama dengan ayat terakhir dalam satu surat. Contoh dalam masalah ini misalnya dalam surat al-Mu’minun, ayat pertama yang berbunyi “qad aflaha al-mu’minun” lalu di bagian akhir surat tersebut berbunyi “innahu la yuflihu al-kafirun”. Ayat pertama menginformasikan keberuntungan dalam orang-orang mu’min, sedangkan ayat kedua tentang ketidakberuntungan orang-orang kafir.
Munasabah antar surat ini juga dijumpai dalam contoh misalnya kata muttaqin dalam surat al-Baqarah : 2, dijelaskan oleh ayat berikutnya yang memberi informasi tentang ciri-ciri orang-orang yang bertaqwa (muttaqun).
DAFTAR PUSTAKA
Badr al-Din al-Zarkasyi, al-Burhân fi ‘Ulûm al-Qur’an, Beirut : Dar al-Ma’rifah li al-Tiba’ah wa al-Nasyr, 1972
Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas : Tentang Transformasi Intelektual, Ahsin Mohammad (penterjemah), Bandung : Penerbit Pustaka, 1995
Imad al-Din Abu al-Fida’ Islamil Ib Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Adzim, Beirut : Dar al-Fikr, 1966
Jalal al-Din al-Suyuti, al-Itqan fi al-Ulum al-Qur’an, Damaskus : Dar al-Fikr, 1979, Juz I
Manna’ al-Qattan, Mabahits fi Ulum al-Qur’an, Riyadh : Mansyurat al-Ashr al-Hadits, t.th.
Muhammad Syahrur, Al-Kitâb wa al-Qur’an : Qira’ah Muashirah, Kairo : Sina Publisher, cet. I
Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas al-Qur’an : Ktitik Terhadap Ulumul Qur’an, Yogyakarta : LkiS, 2001
Taufiq Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an, Yogyakarta : Forum Kajian Agama dan Budaya, 2001
W. Montgomery Watt, Pengantar Studi al-Qur’an, Taufiq Adnan Amal (Penterjemah), Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 1995
http://pemikiranislam.wordpress.com/2007/08/23/teori-munasabah-al-quran/ - _ftnref1Istilah verbum dei, penulis dapatkan dari buku karya Taufiq Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an, Yogyakarta : Forum Kajian Agama dan Budaya, 2001
http://pemikiranislam.wordpress.com/2007/08/23/teori-munasabah-al-quran/ - _ftnref2Lihat W. Montgomery Watt, Pengantar Studi al-Qur’an, Taufiq Adnan Amal (Penterjemah), Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 1995, h. xi
http://pemikiranislam.wordpress.com/2007/08/23/teori-munasabah-al-quran/ - _ftnref3Para Ulama memasukkan ‘Ilm Munasabah sebagai bagian dari Ulum al-Qur’an, tak terkecuali Imam al-Zarkasyi (salah satu dari 74 cabang Ulum al-Qur’an) dan Imam al-Suyuthi (salah satu dari 100 cabang Ulum al-Qur’an).
http://pemikiranislam.wordpress.com/2007/08/23/teori-munasabah-al-quran/ - _ftnref4Lihat Imad al-Din Abu al-Fida’ Islamil Ib Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Adzim, Beirut : Dar al-Fikr, 1966
http://pemikiranislam.wordpress.com/2007/08/23/teori-munasabah-al-quran/ - _ftnref5Badr al-Din al-Zarkasyi, al-Burhân fi ‘Ulûm al-Qur’an, Beirut : Dar al-Ma’rifah li al-Tiba’ah wa al-Nasyr, 1972, h. 35-36
http://pemikiranislam.wordpress.com/2007/08/23/teori-munasabah-al-quran/ - _ftnref6Manna’ al-Qattan, Mabahits fi Ulum al-Qur’an, Riyadh : Mansyurat al-Ashr al-Hadits, t.th. h. 77-79
http://pemikiranislam.wordpress.com/2007/08/23/teori-munasabah-al-quran/ - _ftnref7Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas al-Qur’an : Ktitik Terhadap Ulumul Qur’an, Yogyakarta : LkiS, 2001, h. 215
http://pemikiranislam.wordpress.com/2007/08/23/teori-munasabah-al-quran/ - _ftnref8Ibid., h. 213
http://pemikiranislam.wordpress.com/2007/08/23/teori-munasabah-al-quran/ - _ftnref9Lihat perdebatan para ulama itu dalam Jalal al-Din al-Suyuti, al-Itqan fi al-Ulum al-Qur’an, Damaskus : Dar al-Fikr, 1979, Juz I, h. 60-63
http://pemikiranislam.wordpress.com/2007/08/23/teori-munasabah-al-quran/ - _ftnref10Nasr Hamid Abu Zaid, op.cit., h. 213-214
http://pemikiranislam.wordpress.com/2007/08/23/teori-munasabah-al-quran/ - _ftnref11Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas : Tentang Transformasi Intelektual, Ahsin Mohammad (penterjemah), Bandung : Penerbit Pustaka, 1995, h, 2-3
http://pemikiranislam.wordpress.com/2007/08/23/teori-munasabah-al-quran/ - _ftnref12Lihat Kata Pengantar Ahmad Syafi’i Ma’arif dalam buku terjemahan Fazlur Rahman, op.cit., h. vi
http://pemikiranislam.wordpress.com/2007/08/23/teori-munasabah-al-quran/ - _ftnref13Lihat Nasr Hamid Abu Zaid, op.cit., h. 218-219
http://pemikiranislam.wordpress.com/2007/08/23/teori-munasabah-al-quran/ - _ftnref14Ibid. h. 219
http://pemikiranislam.wordpress.com/2007/08/23/teori-munasabah-al-quran/ - _ftnref15` Ibid., h. 220-221
http://pemikiranislam.wordpress.com/2007/08/23/teori-munasabah-al-quran/ - _ftnref16Ibid., h. 226-236
http://pemikiranislam.wordpress.com/2007/08/23/teori-munasabah-al-quran/ - _ftnref17Muhammad Syahrur, Al-Kitâb wa al-Qur’an : Qira’ah Muashirah, Kairo : Sina Publisher, cet. I, 1992, h.
http://pemikiranislam.wordpress.com/2007/08/23/teori-munasabah-al-quran/ - _ftnref18Ibid., h. 598





z:zamanku@yahoogroups.com 25 December 2007 • 6:15PM +0800
[zamanku] Ahli Kitab - Dr. Quraish Shihab
by bsugih2001

Reply to author Reply to group


Berbicara mengenai wawasan Al-Qur'an tentang suatu masalah
tidak akan sempurna, bahkan boleh jadi keliru, jika
pandangan hanya tertuju kepada satu dua ayat yang berbicara
menyangkut hal tersebut. Karena cara demikian akan
melahirkan pandangan parsial yang tidak sejalan dengan
tujuan pemahaman wawasan, lebih-lebih bila analisis
dilakukan terlepas dari konteks (munasabah) ayat, sejarah,
asbab al-nuzul (latar belakang turunnya ayat), penjelasan
Nabi (As-Sunnah), dan sebagainya, yang dihimpun oleh
pakar-pakar Al-Qur'an dengan istilah pendekatan "tematis"
(maudhu'i).

Bahasan ini mencoba menerapkan metode tersebut, walaupun
dalam bentuk yang terbatas - karena penerapannya secara
sempurna membutuhkan waktu yang tidak singkat, rujukan yang
memadai, serta kemampuan analisis yang dalam. Namun
demikian, keterbatasan di atas, akan diusahakan untuk
ditutupi dengan menyajikan pandangan beberapa pakar
berkompeten dalam bidang Al-Qur'an.

ISTILAH-ISTILAH AL-QUR'AN

Salah satu keistimewaan Al-Qur'an adalah ketelitian
redaksinya. Tidak heran, karena redaksi tersebut bersumber
langsung dari Allah swt. Hal ini perlu digarisbawahi, bukan
saja karena sekian banyak ulama melakukan analisis
kebahasaan dalam mengemukakan dan atau menolak satu
pendapat, tetapi juga karena Kitab Suci ini menggunakan
beberapa istilah yang berbeda ketika menunjuk kepada orang
Yahudi dan Nasrani, dua kelompok masyarakat yang minimal
disepakati oleh seluruh ulama sebagai Ahl Al-Kitab.

Selain istilah Ahl Al-Kitab, Al-Qur'an juga menggunakan
istilah Utu Al-Kitab, Utu nashiban minal kitab, Al-Yahud,
Al-Ladzina Hadu, Bani Israil, An Nashara, dan istilah
lainnya.

Kata Ahl Al-Kitab terulang di dalam Al-Qur'an sebanyak tiga
puluh satu kali, Utu Al-Kitab delapan belas kali, Utu
nashiban minal kitab tiga kali, Al-Yahud delapan kali,
Al-Ladzina Hadu sepuluh kali, An-Nashara empat belas kali,
dan Bani/Banu Isra'il empat puluh satu kali

Kesan umum diperoleh bahwa bila Al-Qur'an menggunakan kata
Al-Yahud maka isinya adalah kecaman atau gambaran negatif
tentang mereka. Perhatikan misalnya firman-Nya tentang
kebencian orang Yahudi terhadap kaum Muslim (QS Al-Maidah
[5]: 82), atau ketidakrelaan orang-orang Yahudi dan Nasrani
terhadap kaum Muslim sebelum umat Islam mengikuti mereka (QS
Al-Baqarah [2]: 120), atau pengakuan mereka bahwa orang
Yahudi dan Nasrani adalah putra-putra dan kinasih Allah (QS
Al-Ma-idah [5]: 18), atau pernyataan orang Yahudi bahwa
tangan Allah terbelenggu (kikir) (QS Al-Maidah [5]: 64), dan
sebagainya. Bila Al-Qur'an menggunakan Al-Ladzina Hadu, maka
kandungannya ada yang berupa kecaman, misalnya terhadap
mereka yang mengubah arti kata-kata atau mengubah dan
menguranginya (QS Al-Nisa, [41]: 46), atau bahwa mereka
tekun mendengar (berita kaum Muslim) untuk menyebarluaskan
kebohongan (QS Al-Maidah [5]: 41), dan ada juga yang
bersifat netral, seperti janji bagi mereka yang beriman
dengan benar untuk tidak akan mengalami rasa takut atau
sedih (QS Al-Baqarah [2]: 62).

Kata Nashara sama penggunaannya dengan Al-Ladzina Hadu,
terkadang digunakan dalam konteks positif dan pujian,
misalnya surat Al-Maidah [5]: 82 yang menjelaskan tentang
mereka yang paling akrab persahabatannya dengan orang-orang
Islam; dan di kali lain dalam konteks kecaman, seperti dalam
surat Al-Baqarah [2]: 120 yang berbicara tentang
ketidakrelaan mereka terhadap orang Islam sampai kaum Muslim
mengikuti mereka. Dalam kesempatan lain kandungannya
bersifat netral: bukan kecaman bukan pula pujian, seperti
dalam surat Al-Hajj [22]; 17 yang membicarakan tentang
putusan Tuhan yang adil terhadap mereka dan
kelompok-kelompok lain, kelak di hari kemudian. Dengan
demikian, kita dapat mengatakan bahwa bila Al-Qur'an
menggunakan Al-Yahud, maka pasti ayat tersebut berupa
kecaman atas sikap-sikap buruk mereka, dan jika menggunakan
kata Nashara, maka ia belum tentu bersikap kecaman, sama
halnya dengan Al-Ladzina Hadu.

Agaknya ini sebabnya sehingga surat Al-Baqarah [2]: 120 yang
berbunyi "Lan tardha 'ankal-Yahud wa lan Nashara hatta
tattabi'a millatahum (orang Yahudi dan Nasrani tidak akan
rela kepadamu (Muhammad) sampai engkau mengikuti
agama/tatacara mereka," menggunakan kata "lan" terhadap
orang Yahudi, dan kata "la" terhadap orang Nasrani. Menurut
pakar-pakar bahasa Al-Qur'an, antara lain Az-Zarkasyi dalam
bukunya Al-Burhan, kata "lan" digunakan untuk menafikan
sesuatu di masa datang, dan penafian tersebut lebih kuat
dari "la" yang digunakan untuk menafikan sesuatu, tanpa
mengisyaratkan masa penafian itu, sehingga boleh saja ia
terbatas untuk masa lampau, kini, atau masa datang.

Ayat di atas, secara tegas menyatakan bahwa selama seseorang
itu Yahudi (Ingat bukan Al-Ladzina Hadu atau Ahl Al-Kitab),
maka ia pasti tidak akan rela terhadap umat Islam hingga
umat Islam mengikuti agama/tatacara mereka. Dalam arti,
menyetujui sikap dan tindakan serta arah yang mereka tuju.

Mufasir besar Ar-Razi mengemukakan bahwa maksud ayat ini
adalah menjelaskan:

"Keadaan mereka dalam bersikeras berpegang pada kebatilan
mereka, dan ketegaran mereka dalam kekufuran, bahwa mereka
itu juga (di samping kekufuran itu) berkeinginan agar
diikuti millat mereka. Mereka tidak rela dengan kitab (suci
yang dibawa beliau), bahkan mereka berkeinginan (memperoleh)
persetujuan beliau menyangkut keadaan mereka. Dengan
demikian (Allah) menjelaskan kerasnya permusuhan mereka
terhadap Rasul, serta menerangkan situasi yang mengakibatkan
keputusasaan tentang persetujuan mereka (menganut Islam)."

Syaikh Muhammad Thahir bin Asyur dalam tafsirnya menjelaskan
bahwa kalimat hatta tattabi'a millatahum (sampai engkau
mengikuti agama mereka) adalah:

Kinayat (kalimat yang mengandung makna bukan sesuai bunyi
teksnya) keputusasaan (tidak adanya kemungkinan) bagi orang
Yahudi dan Nasrani untuk memeluk Islam ketika itu, karena
mereka tidak rela kepada Rasul kecuali (kalau Rasul)
mengikuti agama/tatacara mereka. Maka ini berarti bahwa
mereka tidak mungkin akan mengikuti agama beliau; dan karena
keikutan Nabi pada ajaran mereka merupakan sesuatu yang
mustahil, maka kerelaan mereka terhadap beliau (Nabi) pun
demikian. Ini sama dengan (firman-Nya):

"hingga masuk ke lubang jarum" (QS Al-A'raf [7]: 40)

dan (firman-Nya),

"Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah, dan kamu
bukan penyembah (Tuhan) yang aku sembah" (QS Al-Kafirun
[109]: 2-3).

Dalam uraian Syaikh Fadhil di atas ditemukan kalimat "ketika
itu" untuk menjelaskan bahwa keputusasaan tersebut hanya
ditekankan oleh ayat ini pada Al-Yahud wan-Nashara tertentu
ketika itu, bukan terhadap mereka semua, karena kenyataan
menunjukkan bahwa setelah turunnya ayat ini ada di antara
Ahl Al-Kitab yang memeluk agama Islam. Pengertian tersebut
sama dengan firman-Nya dalam surat Yasin [36]: 10:

"Sama saja bagi mereka: apakah kamu memberi peringatan
kepada mereka, ataukah kamu tidak memberi peringatan kepada
mereka, mereka tidak akan beriman."

Yang dimaksud di sini adalah orang-orang kafir tertentu
ketika itu (pada masa Nabi), bukan seluruh orang kafir
karena kenyataan juga menunjukkan bahwa sebagian besar dari
orang kafir pada masa Nabi, pada akhirnya memeluk Islam.
Arti surat Al-Baqarah [2]: 120 di atas perlu ditegaskan,
karena sering tertadi kesalahpahaman tentang maknanya. Dan
juga sebagaimana diketahui, Yudaisme bukanlah agama dakwah,
bahkan mereka cenderung eksklusif dalam bidang agama dan
orang lain cenderung enggan menganut agamanya. Di sisi lain,
seperti dikemukakan dalam riwayat-riwayat, sebab turunnya
surat Al-Baqarah [2]: 120 di atas berkenaan dengan
pemindahan kiblat shalat kaum Muslim ke arah Ka'bah, yang
ditanggapi oleh non-Muslim dengan sinis, karena ketika itu
kaum Yahudi Madinah dan kaum Nasrani Najran mengharapkan
agar Nabi dan kaum Muslim mengarahkan shalat mereka ke
kiblat mereka. Demikian pendapat Ibnu Abbas sebagaimana
dikemukakan oleh As-Sayuthi dalam kaxyanya Ashab Al-Nuzul

Penafian Al-Qur'an terhadap An-Nashara, tidak setegas
penafiannya terhadap Al-Yahud, sehingga boleh jadi tidak
semua mereka bersikap demikian. Boleh jadi juga kini dan di
masa lalu demikian, tetapi masa datang tidak lagi. Walhasil
penggunaan kata "la" buat mereka tidak setegas penggunaan
kata "lan" untuk orang Yahudi.

Dengan merujuk kepada ayat-ayat yang menggunakan kata Ahl
Al-Kitab, ditemukan bahwa pembicaraan Al-Qur'an tentang
mereka berkisar pada uraian tentang sikap dan sifat mereka -
positif dan negatif serta sikap yang hendaknya diambil oleh
kaum Muslim terhadap mereka.

SIFAT DAN SIKAP AHL AL-KITAB

Al-Qur'an banyak berbicara tentang sifat dan sikap Ahl
Al-Kitab terhadap kaum Muslim, dan berbicara tentang
keyakinan dan sekte mereka yang beraneka ragam. Surat
An-Nisa, [4]: 171 dan Al-Ma-idah [5]: 77 mengisyaratkan
bahwa mereka memiliki paham keagamaan yang ekstrem.

"Wahai Ahl Al-Kitab, jangan melampaui batas dalam agamamu,
dan jangan mengatakan terhadap Allah kecuali yang hak" {QS
Al-Nisa, [4]: 171).

Mereka juga dinilai oleh Al-Qur'an sebagai telah mengkufuri
ayat-ayat Allah, serta mengingkari kebenaran (kenabian
Muhammad saw).

"Wahai Ahl Al-Kitab, mengapa kamu mengingkari ayat-ayat
Allah padahal kamu mengetahui (kebenarannya)? Hai Ahl
Al-Kitab, mengapa kamu mencampuradukkan yang hak dengan yang
batil, dan menyembunyikan kebenaran padahal kamu
mengetahui?" (QS Ali 'Imran [3]: 70-71).

Nabi Muhammad saw. diperintahkan oleh Allah untuk
menyampaikan kepada mereka:

Katakanlah: "Hai Ahl Al-Kitab, apakah kamu memandang kami
salah hanya lantaran kami beriman kepada Allah, kepada apa
yang diturunkan kepada kami, dan kepada apa yang diturunkan
sebelumnya, sedang banyak di antara kamu benar-benar
orang-orang yang fasik?" (QS Al-Ma-idah [5]: 59).

Bahkan Allah Swt. secara langsung dan berkali-kali
mengingatkan kaum Muslim untuk tidak mengangkat mereka
sebagai pemimpin-pemimpin atau teman-teman akrab atau tempat
menyimpan rahasia.

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil
orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi
pemimpin-pemimpin(mu); sebagian mereka adalah pemimpin bagi
sebagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu yang
mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang
itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak
memberi petunjuk kepada orany-orang yang zalim" (QS
Al-Ma-idah [5]: 51).

Dalam QS Ali 'Imran [3]: 118 kaum Muslim diingatkan untuk
tidak menjadikan orang-orang di luar kalangan Muslim sebagai
bithanah (teman-teman tempat menyimpan rahasia) dengan
alasan bahwa:

"... mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kerugian bagi
kamu (kaum Muslim). Mereka menyukai apa yang menyusahkan
kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka sedang apa
yang disembunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi. Kami
telah menjelaskan kepadamu tanda-tanda (siapa kawan dan
siapa lawan), jika kalian memahaminya." (QS Ali 'Imran [3]:
118).

Terhadap merekalah Nabi saw. bersabda,

"Jangan memulai mengucapkan salam kepada orang Yahudi dan
jangan pula pada Nasrani. Kalau kamu menemukan salah seorang
di antara mereka di jalan, maka desaklah ia ke pinggiran"
(HR Muslim melalui Abu Hurairah).

Sahabat dan pembantu Nabi saw., Anas bin Malik, berkata
bahwa Nabi saw. bersabda,

"Apabila Ahl Al-Kitab mengucapkan salam kepada kamu, maka
katakanlah, Wa 'alaikum" (HR Bukhari dan Muslim)

Dalam buku Dalil Al-Falihin dikemukakan bahwa para ulama
berbeda pendapat tentang hukum memulai ucapan salam kepada
orang-orang kafir. Mayoritas melarangnya tetapi banyak juga
yang membolehkan antara lain sahabat Nabi, Ibnu Abbas. Namun
apabila mereka mengucapkan salam, maka adalah wajib hukumnya
bagi kaum Muslim untuk menjawab salam itu. Ulama sepakat
dalam hal ini.
Al-Qur'an juga menyatakan bahwa,

"Apabila mereka condong kepada salam (perdamaian), maka
condong pulalah kepadanya, dan berserah dirilah kepada
Allah. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui"
(QS Al-Anfal [8]: 61).

Perlu digarisbawahi bahwa berlaku adil terhadap Ahl Al-Kitab
siapa pun mereka, walau Yahudi - tetap dituntut oleh
Al-Qur'an. Ulama-ulama Al-Qur'an menguraikan bahwa Nabi saw.
pernah cenderung mempersalahkan seorang Yahudi yang tidak
bersalah - karena bersangka baik terhadap keluarga kaum
Muslim yang menuduhnya. Sikap Nabi tersebut ditegur oleh
Allah dengan menurunkan surat An-Nisa, [4]: 105.

"Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan
membawa kebenaran, supaya engkau mengadili antar manusia
dengan apa yang Allah wahyukan kepadamu. Dan janganlah
engkau menjadi penantang (orang yang tidak bersalah) karena
(membela) orang-orang yang khianat."

APAKAH AHL AL-KITAB SEMUA SAMA?

Di atas telah dipaparkan sebagian dari ayat-ayat yang
berbicara tentang Ahl Al-Kitab serta kecaman dan sifat-sifat
negatif mereka. Pertanyaan yang dapat muncul adalah: "Apakah
ayat-ayat di atas berlaku umum, menyangkut semua Ahl
Al-Kitab kapan dan di mana pun mereka berada?"

Penggalan terakhir surat Al-Ma-idah [5]: 59 di atas
menyatakan bahwa banyak di antara kamu (hai Ahl Al-Kitab),
perlu digarisbawahi untuk menjawab pertanyaan ini. Hemat
penulis, penggalan tersebut paling tidak menunjukkan bahwa
tidak semua mereka bersikap demikian.

Kesimpulan ini didukung dengan sangat jelas paling tidak
dalam dua ayat berikut:

"Banyak dari Ahl Al-Kitab yang menginginkan agar mereka
dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu
beriman, karena dengki yang timbul dari dalam hati mereka
setelah nyata bagi mereka kebenaran. Maka maafkanlah dan
biarkanlah mereka sampai Allah mendatangkan perintah-Nya.
Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu" (QS
Al-Baqarah [2]: 109).

Perlu diketahui bahwa ayat di atas menggunakan kata katsir
yang seharusnya diterjemahkan banyak, bukan kebanyakan
sebagaimana dalam Al-Qur'an dan Terjemahannya oleh
Departemen Agama. Ini dikuatkan juga dengan firman-Nya:

"Segolongan dari Ahl Al-Kitab ingin menyesatkan kamu padahal
mereka (sebenarnya) tidak menyesatkan kecuali diri mereka
sendiri, dan mereka tidak menyadarinya" (QS Ali 'Imran [3]:
69)

Kalau melihat redaksi ayat di atas, maka dapat dikatakan
bahwa dalam konteks upaya pemurtadan, maka tidak semua
mereka bersikap sama. Sejalan dengan ini, ada peringatan
yang ditujukan kepada kaum Mukmin yang menyatakan:

"Wahai orang-orang yang beriman, jika kamu mengikuti
sekelompok dari Ahl Al-Kitab, niscaya mereka akan
mengembalikan kamu menjadi orang-orang kafir sesudah kamu
beriman" (QS Ali 'Imran [3]: 100).

Nah, jika demikian dapat dipahami keterangan Al-Qur'an yang
menyatakan bahwa,

"Mereka itu tidak sama. Di antara Ahl Al-Kitab ada golongan
yang berlaku lurus. Mereka membaca ayat-ayat Allah pada
beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga bersujud"
(QS Ali 'Imran [3]: 113) .

Sebelumnya dalam surat yang sama Al-Qur'an juga memberikan
informasi,

"Di antara Ahl Al-Kitab ada yang jika kamu mempercayakan
kepadanya harta yang banyak, dikembalikannya kepadamu, dan
di antara mereka ada juga yang jika kamu percayakan
kepadanya satu dinar (saja) tidak dikembalikannya kepadamu,
kecuali selama kamu berdiri (selalu menagihnya). Yang
demikian itu karena mereka berkata (berkeyakinan) bahwa
tidak ada dosa bagi kami (memperlakukan tidak adil) terhadap
orang-orang ummi (Arab). Mereka berkata dusta terhadap Allah
padahal mereka mengetahui" (QS Ali 'Imran [3]: 75).

Demikian juga ketika Al-Qur'an mengungkap isi hati sebagian
Ahl Al-Kitab dinyatakannya bahwa:

"Permusuhan antar sesama mereka sangatlah hebat. Kamu
menduga mereka bersatu, padahal hati mereka berpecah belah"
(QS Al-Hasyr [59]: 14).

BAGAIMANA SEHARUSNYA SIKAP TERHADAP AHL AL-KITAB

Di atas terlihat bahwa Ahl Al-Kitab tidak semua sama. Karena
itu sikap yang diajarkan Al-Qur'an terhadap mereka pun
berbeda, sesuai dengan sikap mereka.

Dalam sekian banyak ayat yang menggunakan istilah Ahl
Al-Kitab, terasa adanya uluran tangan dan sikap bersahabat,
walaupun di sana-sini Al-Qur'an mengakui adanya perbedaan
dalam keyakinan.

Perhatikan firman Allah berikut ini:

"Janganlah kamu berdebat dengan Ahl Al-Kitab, melainkan
dengan cara yang sebaik-baiknya, kecuali terhadap
orang-orang yang zalim di antara mereka" (QS Al-'Ankabut
[29]: 46).

Dalam beberapa kitab tafsir - seperti juga pada catatan kaki
Al-Qur'an dan Terjemahnya Departemen Agama - dijelaskan
bahwa yang dimaksud dengan "orang-orang zalim" dalam ayat di
atas adalah mereka yang setelah diberi penjelasan dengan
baik, masih tetap membantah, membangkang, dan menyatakan
permusuhan.

Sebenarnya yang diharapkan oleh kaum Muslim dari semua pihak
termasuk Ahl Al-Kitab adalah kalimat sawa' (kata sepakat),
dan kalau ini tidak ditemukan, maka cukuplah mengakui kaum
Muslim sebagai umat beragama Islam, jangan diganggu dan
dihalangi dalam melaksanakan ibadahnya. Dalam konteks ini
Al-Qur'an memerintahkan kepada Nabi Muhammad saw.,

"Hai Ahl Al-Kitab, marilah kepada satu kata sepakat antara
kita yang tidak ada perselisihan di antara kami dan kamu,
yakni bahwa kita tidak menyembah kecuali Allah, dan kita
tidak mempersekutukan Dia dengan sesuatu pun, dan tidak pula
sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan
selain dari Allah. Jika mereka berpaling, maka katakanlah
(kepada mereka), 'Saksikanlah (akuilah) bahwa kami adalah
orang-orang Muslim (yang menyerahkan diri kepada Allah)" (QS
Ali 'Imran [3]: 64).

Sekali lagi penulis katakan "sebagian mereka," karena
Al-Qur'an juga menggarisbawahi bahwa:

"Dan sesungguhnya di antara Ahl Al-Kitab ada orang yang
beriman kepada Allah, dan kepada apa yang diturunkan kepada
kamu, dan apa yang diturunkan kepada mereka sedang mereka
berendah hati kepada Allah, dan mereka tidak menukarkan
ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit. Mereka memperoleh
pahala di sisi Tuhan mereka. Sesungguhnya Allah amat cepat
perhitungan-Nya" (QS Ali 'Imran [3]: 199).

Memang, tidak sedikit dari Ahl Al-Kitab yang kemudian dengan
tulus memeluk agama Islam. Salah seorang yang paling populer
di antara mereka adalah Abdullah bin Salam. Al-Qurthubi
dalam tafsirnya meriwayatkan bahwa ketika turun firman
Allah:

"Orang-orang yang telah Kami beri Al-Kitab (Taurat dan
Injil) mengenalnya (Muhammad saw.) sebagaimana mereka
mengenal anak-anak mereka" (QS Al-Baqarah [2]: 146).

Umar r.a. bertanya kepada Abdullah bin Salam, "Apakah engkau
mengenal Muhammad sebagaimana engkau mengenal anakmu?"
Abdullah menjawab, "Ya, bahkan lebih. (Malaikat) yang
terpercaya turun dari langit kepada manusia yang terpercaya
di bumi, menjelaskan sifat (cirinya), maka kukenal dia;
(sedang anakku) aku tidak tahu apa yang telah dilakukan
ibunya."

AHL AL-KITAB PADA MASA TURUNNYA AL-QUR'AN

Sebelum membuka lembaran ayat-ayat Al-Qur'an perlu kiranya
kita menoleh ke sejarah dakwah Islamiah yang dilaksanakan
oleh Nabi Muhammad saw. Sepuluh tahun lamanya beliau
melaksanakan misi kerasulan di Makkah, dan yang dihadapi di
sana adalah kaum musyrik penyembah berhala. Di kota Makkah
sendiri penganut agama Yahudi sangat sedikit, bahkan hampir
tidak ada. Musuh pertama dan utama ketika itu adalah
orang-orang Makkah, dan mereka itu disebut oleh Al-Qur'an
sebagai al-musyrikun.

Penindasan kaum musyrik di Makkah terhadap kaum Muslim,
memaksa sebagian kaum Muslim melakukan hijrah pertama ke
Ethiopia. Di sana mereka disambut dengan baik oleh Negus,
penguasa yang beragama Nasrani.

Masyarakat Madinah terdiri dari dua kelompok besar, yaitu
Aus dan Khazraj, serta orang-orang Yahudi yang memiliki
kekuatan ekonomi yang cukup memadai. Aus dan Khazraj saling
bermusuhan dan berperang. Tidak jarang pula terjadi
perselisihan dan permusuhan antara mereka dengan orang
Yahudi. Pertempuran dan perselisihan itu melelahkan semua
pihak; sayang tidak ada di antara mereka yang memiliki
wibawa yang dapat mempersatukan kelompok-kelompok yang
bertikai ini.

Orang-orang Yahudi sering mengemukakan kepada Aus dan
Khazraj, bahwa akan datang seorang Nabi (dari kelompok
mereka), dan bila ia datang pastilah kaum Yahudi akan
mengalahkan musuh-musuhnya. Dalam konteks ini Al-Qur'an
menyatakan - menyangkut orang Yahudi - bahwa,

"Setelah datang kepada mereka Al-Qur'an dan Allah yang
membenarkan apa yang ada pada mereka, padahal sebelumnya
mereka biasa memohon (demi kedatangan Nabi yang dijanjikan)
untuk mendapat kemenangan atas orang-orang kafir, maka
setelah datang kepada mereka apa yang mereka ketahui mereka
lalu ingkar kepadanya. Maka laknat Allah atas orang-orang
yang ingkar itu" (QS Al-Baqarah [2]: 89).

Yang dimaksud dengan "membenarkan apa yang ada pada mereka"
adalah kehadiran seorang Nabi, yang dalam hal ini Nabi
Muhammad saw. Sahabat Nabi Ibnu Abbas menjelaskan apa yang
dimaksud dengan "padahal sebelumnya mereka biasa memohon"
adalah bahwa orang Yahudi Khaibar berperang melawan Arab
Gathfan, tetapi mereka dikalahkan, maka ketika itu
orang-orang Yahudi berdoa, "Kami bermohon kepada-Mu demi
Nabi Ummi yang engkau janjikan untuk mengutusnya kepada kami
di akhir zaman, menangkanlah kami atas mereka" sehingga
mereka berhasil mengalahkan musuh-musuh mereka.

Al-Qur'an juga menginformasikan bahwa keengganan mereka
beriman disebabkan oleh karena "kedengkian dan iri hati
mereka" (QS Al-Baqarah [2]: 109). Tadinya mereka menduga
bahwa Nabi tersebut dari Bani Israil, tetapi ternyata dari
golongan Arab yang merupakan seteru mereka.

Terbaca dari uraian sejarah di atas bahwa orang-orang Yahudi
dan Nasrani hampir tidak ada di kota Makkah. Itu pula
sebabnya sehingga kaum musyrik di sana mengirim utusan ke
Madinah untuk memperoleh "pertanyaan berat" yang dapat
diajukan kepada Nabi Muhammad dalam rangka pembuktian
kenabiannya. Ketika itu orang-orang Yahudi Madinah
menyarankan agar menanyakan soal ruh, dan peristiwa itulah
yang melatar belakangi turunnya firman Allah:

"Mereka bertanya kepadamu tentang ruh, katakanlah, 'Ruh itu
termasuk urusan Tuhanku.' Kamu tidak diberi pengetahuan
kecuali sedikit" (QS Al-Isra' [17]: 85).

Kehadiran Nabi Muhammad saw. ke Madinah, disambut baik oleh
Aus dan Khazraj bukan saja sebagai pemersatu mereka yang
selama ini telah lelah bertempur dan mendambakan perdamaian,
tetapi juga karena mereka yakin bahwa beliau adalah utusan
Allah, yang sebelumnya telah mereka ketahui kehadirannya
melalui orang-orang Yahudi.

Adapun orang-orang Nasrani lebih banyak bertempat tinggal di
Yaman, bukan di Madinah. Kalaupun ada yang di sana, mereka
tidak mempunyai pengaruh politik atau ekonomi, namun mereka
juga disebut oleh Al-Qur'an sebagai Ahl Al-Kitab.
Kembali kepada persoalan di atas, ditemukan bahwa
ulama-ulama tafsir bila menemukan istilah Ahl Al-Kitab dalam
sebuah ayat, seringkali menjelaskan siapa yang dimaksud
dengan istilah tersebut. Hal ini wajar karena Al-Qur'an
secara tegas menyatakan bahwa Ahl Al-Kitab tidak sama dalam
sifat dan sikapnya terhadap Islam dan kaum Muslim (QS Ali
'Imran [3]: 113). Itu pula sebabnya, dalam hal-hal yang
dapat menimbulkan kerancuan pemahaman istilah itu, Al-Qur'an
tidak jarang memberi penjelasan tambahan yang berkaitan
dengan sifat atau ciri khusus Ahl Al-Kitab yang dimaksudnya.
Perhatikan misalnya ayat yang berbicara tentang kebolehan
kawin dengan wanita Ahl Al-Kitab, di sana ditambahkan kata
wal muhshanat (wanita-wanita yang memelihara kehormatannya),
sedang ketika berbicara tentang kebolehan memakan sembelihan
mereka, Al-Qur'an mengemukakannya tanpa penjelasan atau
syarat.

MENGAPA ADA KECAMAN TERHADAP AHL AL-KITAB?

Kebanyakan kecaman terhadap Ahl Al-Kitab ditujukan kepada
orang Yahudi, bukan kepada orang Nasrani. Ini disebabkan
karena sejak semula ada perbedaan sikap di antara kedua
kelompok Ahl Al-Kitab itu terhadap kaum Muslim (perhatikan
kembali penggunaan kata "lan" dan "la" pada uraian di atas).
Ketika Romawi yang beragama Kristen mengalami kekalahan dari
Persia yang menyembah api (614 M), kaum Muslim merasa sedih,
dan Al-Qur'an turun menghibur mereka dengan menyatakan bahwa
dalam jangka waktu tidak lebih dari sembilan tahun, Romawi
akan menang, dan ketika itu kaum Mukmin akan bergembira:

"Alif Lam Mim. Telah dikalahkan bangsa Rumawi, di negeri
yang terdekat, dan mereka sesudah dikalahkan itu akan menang
dalam beberapa tahun (lagi). Bagi Allah urusan sebelum dan
sesudah (mereka menang) dan di hari (kemenangan bangsa
Rumawi) itu bergembiralah orang-orang yang beriman karena
pertolongan Allah. Dia menolong siapa yang dikehendaki-Nya,
dan Dialah Maha Perkasa lagi Maha Penyayang" (QS Al-Rum
[30]: 1-5).

Sikap penguasa Masehi pun cukup baik terhadap kaum Muslim.
Ini antara lain terlihat dalam sambutan dan perlindungan
yang diberikan oleh penguasa Ethiopia yang beragama Nasrani
kepada kaum Muslim yang berhijrah ke sana, sehingga wajar
jika secara tegas Al-Qur'an menyatakan:

"Sesungguhnya kamu pasti akan menemukan orang-orang yang
paling keras permusuhannya terhadap orang-orang beriman
ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik, dan
sesungguhnya pasti kamu dapati yang paling dekat
persahabatannya dengan orang-orang beriman adalah
orang-orang yang berkata, 'Sesungguhnya kami ini orang
Nasrani" (QS Al-Ma-idah [5]: 82).

Sebab pokok perbedaan sikap tersebut adalah kedengkian orang
Yahudi terhadap kehadiran seorang Nabi yang tidak berasal
dari golongan mereka (QS Al-Baqarah [2]: 109). Kehadiran
Nabi kemudian mengakibatkan pengaruh orang Yahudi di
kalangan masyarakat Madinah menciut, dan bahkan
menghilangkan pengaruh politik dan kepentingan ekonomi
mereka.

Di sisi lain, seperti pernyataan Al-Qur'an di atas, sebab
kedekatan sebagian orang Nasrani kepada kaum Muslim adalah:

"Karena di antara mereka terdapat pendeta-pendeta dan
rahib-rahib, dan juga karena sesungguhnya mereka tidak
menyombongkan diri" (QS Al-Ma-idah [5]: 82)

Para pendeta ketika itu relatif berhasil menanamkan ajaran
moral yang bersumber dari ajaran Isa as., sedang para rahib
yang mencerminkan sikap zuhud (menjauhkan diri dari
kenikmatan duniawi dengan berkonsentrasi pada ibadah),
berhasil pula memberi contoh kepada lingkungannya.
Keberhasilan itu didukung pula oleh tidak adanya kekuatan
sosial politik dari kalangan mereka di Makkah dan Madinah,
sehingga tidak ada faktor yang mengundang gesekan dan
benturan antara kaum Muslim dengan mereka.

Ini bertolak belakang dengan kehadiran orang Yahudi, apalagi
pendeta-pendeta mereka dikenal luas menerima sogok, memakan
riba, dan masyarakatnya pun amat materialistis-individualis-
tis.

Dari sini dapat disimpulkan bahwa penyebab utama lahirnya
benturan, bukannya ajaran agama, tetapi ambisi pribadi atau
golongan, kepentingan ekonomi, dan politik, walaupun harus
diakui bahwa kepentingan tersebut dapat dikemas dengan
kemasan agama, apalagi bila ajarannya disalahpahami.

Ayat-ayat yang melarang kaum Muslim mengangkat awliya'
(pemimpin-pemimpin yang menangani persoalan umat Islam) dari
golongan Yahudi dan Nasrani serta selain mereka, harus
dipahami dalam konteks tersebut, seperti firman Allah dalam
surat Ali-'Imran [3]: 118:

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi
teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu,
(karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan)
kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan
kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang
disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi.
Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika
kamu memahaminya."

Ibnu Jarir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa ayat tersebut
turun berkenaan dengan sikap orang Yahudi Bani Quraizhah
yang mengkhianati perjanjian mereka dengan Nabi saw.,
sehingga seperti ditulis Rasyid Ridha dalam tafsirnya:
"Larangan ini baru berlaku apabila mereka memerangi atau
bermaksud jahat terhadap kaum Muslim."

Rasyid Ridha, mengkritik dengan sangat tajam pandangan
beberapa ulama tafsir seperti Al-Baidhawi dan Az-Zamakhsyari
- yang menjadikan ayat ini sebagai larangan bersahabat
dengan orang-orang Yahudi dan Nasrani secara mutlak.

Dalam tafsirnya, Al-Baidhawi menguatkan pendapatnya itu
dengan hadis Nabi saw. yang menyatakan,

"(Kaum Muslim dan mereka) tidak saling melihat api
keduanya."

Maksudnya seorang Muslim tidak wajar bertempat tinggal
berdekatan dengan non-Muslim dalam jarak yang seandainya
salah satu pihak menyalakan api, maka pihak lain melihat api
itu.

Sebenarnya hadis tersebut diucapkan oleh Nabi tidak dalam
konteks umum seperti pemahaman Al-Baidhawi, tetapi dalam
konteks kewajiban berhijrah pada saat Nabi amat membutuhkan
bantuan. Dalam arti, Nabi menganjurkan umat Islam untuk
tidak tinggal di tempat di mana kaum musyrik bertempat
tinggal, tetapi mereka harus berhijrah ke tempat lain guna
mendukung perjuangan Nabi dan kaum Muslim.

Di sisi lain, hadis tersebut sebenarnya berstatus mursal,
sedangkan para ulama berselisih mengenai boleh tidaknya
hadis mursal untuk dijadikan argumen keagamaan. Rasyid Ridha
berkomentar:

"Banyak pengajar hanya merujuk kepada Tafsir Al-Baidhawi dan
Az-Zamakhsyari, sehingga wawasan pemahaman mereka terhadap
ayat dan hadis menjadi dangkal, apalagi keduanya
(Al-Baidhawi dan Az-Zamakhsyari) hanya memiliki sedikit
pengetahuan hadis, dan keduanya pun tidak banyak merujuk
kepada pendapat salaf (ulama terdahulu yang diakui
kompetensinya).{1}"

Dalam bagian lain tafsirnya, Rasyid Ridha, mengaitkan
pengertian larangan di atas dengan larangan serupa dalam
Al-Qur'an:

Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu ambil menjadi
teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu,
(karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan)
kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan
kamu. Telah nyata kebencian dan mulut mereka, dan apa yang
disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi (QS
Ali Imran [3]: 1 18)

Karena ciri-ciri tersebutlah maka larangan itu muncul,
sehingga ia hanya berlaku terhadap orang yang cirinya
demikian, kendati seagama, sebangsa, dan seketurunan dengan
seorang Muslim.

"Sebagian orang tak menyadari sebab atau syarat-syarat
tersebut, sehingga mereka berpendapat bahwa larangan ini
bersifat mutlak terhadap yang berlainan agama. Seandainya
larangan tersebut mutlak, ini tidak aneh karena orang-orang
kafir ketika itu bersatu menentang kaum Mukmin pada awal
masa kedatangan Islam, ketika ayat ini turun. Apalagi ayat
ini menurut para pakar, turun menyangkut orang-orang Yahudi.
Namun demikian ayat di atas bersyarat dengan syarat-syarat
tersebut, karena Allah swt. yang menurunkan mengetahui
perubahan sikap pro atau kontra yang dapat terjadi bagi
bangsa dan pemeluk agama. Seperti yang terlihat kemudian
dari orang-orang Yahudi yang pada awal masa Islam begitu
benci terhadap orang-orang Mukmin, namun berbalik menjadi
membantu kaum Muslim dalam beberapa peperangan (seperti di
Andalusia) atau seperti halnya orang Mesir yang membantu
kaum Muslim melawan Romawi." {2}

Dari sini dapat ditegaskan bahwa Al-Qur'an tidak menjadikan
perbedaan agama sebagai alasan untuk tidak menjalin hubungan
kerja sama, lebih lebih mengambil sikap tidak bersahabat.
Bahkan Al-Qur'an sama sekali tidak melarang seorang Muslim
untuk berbuat baik dan memberikan sebagian hartanya kepada
siapa pun selama mereka tidak memerangi kaum Muslim dengan
motivasi keagamaan atau mengusir kaum Muslim di negeri
mereka. Demikian penafsiran surat Al-Mumtahanah [60]: 8 yang
dikemukakan oleh Ibn 'Arabi Abubakar Muhammad bin Abdillah
(1076-1148 M) dalam tafsirnya Ahkam Al-Qur'an.{3}

Atas dasar itu pula sejumlah sahabat Nabi bahkan Nabi
sendiri ditegur oleh Al-Qur'an karena enggan memberi bantuan
nafkah kepada sejumlah Ahl Al-Kitab, dengan dalih bahwa
mereka enggan memeluk Islam. Demikian Al-Qurthubi ketika
menjelaskan sebab turunnya ayat 272 surat Al-Baqarah:

"Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk,
tetapi Allah yang memberi petunjuk siapa yang
dikehendaki-Nya. Dan apa saja harta yang baik yang kamu
nafkahkan dijalan Allah, maka pahalanya adalah untukmu
jua.{4}"

Atas dasar pandangan itu pula, kaum Muslim diwajibkan oleh
Al-Qur'an memelihara rumah-rumah ibadah yang telah dibangun
oleh orang-orang Yahudi, Nasrani, dan pemeluk agama lain
berdasarkan surat Al-Hajj [22]: 40.

"Sekiranya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia.
dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan
biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat
Yahudi, dan masjid-masjid yang di dalamnya banyak disebut
nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang
menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar
Mahakuat lagi Mahaperkasa."

Dari prinsip yang sama Al-Qur'an membenarkan kaum Muslim
memakan sembelihan Ahl Al-Kitab dan mengawini wanita-wanita
mereka yang menjaga kehormatannya.

SIAPA YANG DISEBUT AHL AL-KITAB?

Di atas telah dikemukakan bahwa para ulama sepakat
menyatakan bahwa Ahl Al-Kitab adalah orang Yahudi dan
Nasrani. Namun para ulama berbeda pendapat tentang rincian,
serta cakupan istilah tersebut. Uraian tentang hal ini
paling banyak dikemukakan oleh pakar-pakar Al-Qur'an ketika
mereka menafsirkan surat Al-Ma-idah [5]: 5, yang menguraikan
tentang izin memakan sembelihan Ahl Al-Kitab, dan mengawini
wanita-wanita yang memelihara kehormatannya.

Al-Maududi, seorang pakar agama Islam kontemporer, menulis
perbedaan pendapat para ulama tentang cakupan makna Ahl
Al-Kitab yang penulis rangkum sebagai berikut: {5}
Imam Syafi'i, memahami istilah Ahl Al-Kitab, sebagai
orang-orang Yahudi dan Nasrani keturunan orang-orang Israel,
tidak termasuk bangsa-bangsa lain yang menganut agama Yahudi
dan Nasrani. Alasan beliau antara lain bahwa Nabi Musa dan
Isa, hanya diutus kepada mereka bukan kepada bangsa-bangsa
lain. (Juga karena adanya redaksi min qablikum [sebelum
kamu] pada ayat yang membolehkan perkawinan itu). Pendapat
Imam Syafi'i ini berbeda dengan pendapat Imam Abu Hanifah dan
mayoritas pakar-pakar hukum yang menyatakan bahwa siapa pun
yang mempercayai salah seorang Nabi, atau kitab yang pernah
diturunkan Allah, maka ia termasuk Ahl Al-Kitab. Dengan
demikian Ahl Al-Kitab, tidak terbatas pada kelompok penganut
agama Yahudi atau Nasrani. Dengan demikian, bila ada satu
kelompok yang hanya percaya kepada Shuhuf Ibrahim atau Zabur
(yang diberikan kepada Nabi Daud a.s.) saja, maka ia pun
termasuk dalam jangkauan pengertian Ahl Al-Kitab. Pendapat
ketiga dianut oleh sebagian kecil ulama-ulama salaf, yang
menyatakan bahwa setiap umat yang memiliki kitab yang dapat
diduga sebagai kitab suci (samawi), maka mereka juga dicakup
oleh pengertian Ahl Al-Kitab, seperti halnya orang-orang
Majusi. Pendapat terakhir ini, menurut Al-Maududi diperluas
lagi oleh para mujtahid (pakar-pakar hukum) kontemporer,
sehingga mencakup pula penganut agama Budha dan Hindu, dan
dengan demikian wanita-wanita mereka pun boleh dikawini oleh
pria Muslim, karena mereka juga telah diberikan kitab suci
(samawi) .

Demikian Al-Maududi menyimpulkan berbagai pendapat.

Ibnu Katsir dalam tafsirnya menginformasikan bahwa Abu Tsaur
Ibrahim bin Khalid Al-Kalbi (W. 860 M) yang merupakan salah
seorang pengikut Imam Syafi'i, demikian juga Ahmad ibn
Hanbal, berpendapat bahwa kaum Muslim dapat menikmati
makanan sembelihan orang-orang Majusi, dan dapat pula
mengawini wanita-wanita mereka.{6}

Uraian panjang lebar menyangkut hal ini dikemukakan oleh
Muhammad Rasyid Ridha {7} yang menurutnya bermula dan
pertanyaan seseorang dari Jawa (Indonesia) tentang hukum
mengawini wanita-wanita penyembah berhala semacam
orang-orang Cina (dan memakan sembelihan mereka).

Ulama besar itu setelah merinci dan menilai secara panjang
lebar riwayat- riwayat yang dikemukakan oleh para sahabat
Nabi dan tabiiin, kaidah-kaidah ushul dan kebahasaan, serta
menyimak dan menimbang pendapat para ulama sebelumnya,
menyimpulkan fatwanya sebagaõ berikut:

"Kesimpulan fatwa ini adalah bahwa laki-laki Muslim yang
diharamkan oleh Allah menikah dengan wanita-wanita musyrik
dalam surat Al-Baqarah ayat 221 adalah wanita-wanita musyrik
Arab. Itulah pilihan yang dikuatkan oleh Mahaguru para
mufasir Ibnu Jarir Ath-Thabari, dan bahwa orang-orang
Majusi, Ash-Shabiin, penyembah berhala di India, Cina dan
yang semacam mereka seperti orang-orang Jepang adalah Ahl
Al-Kitab yang (kitab mereka) mengandung ajaran tauhid sampai
sekarang.{8}"

Mufasir Al-Qasimi (w. 1914 M) ketika menafsirkan surat ke-95
(At-Tin) menjelaskan bahwa sementara pakar pada masanya
memahami kata At-Tin sebagai pohon (di mana) pendiri agama
Budha (memperoleh wahyu-wahyu Ilahi), kemudian Al-Qasimi
menegaskan bahwa:

"Dan yang lebih kuat menurut pandangan kami bahkan yang
pasti, bila tafsir kami ini benar adalah bahwa dia (Budha)
adalah seorang Nabi yang benar.{9}"

Penulis cenderung memahami pengertian Ahl Al-Kitab pada
semua penganut agama Yahudi dan Nasrani, kapan, dimana pun
dan dari keturuunan siapa pun mereka. Ini, berdasarkan
penggunaan Al-Qur'an terhadap istilah tersebut yang hanya
terbatas pada kedua golongan itu (Yahudi dan Nasrani), dan
sebuah ayat dalam Al-Qur'an,

"(Kami turunkan Al-Qur'an ini) agar kamu (tidak) mengatakan
bahwa, 'Kitab itu hanya diturunkan kepada dua golongan saja
sebelum kami. dan sesungguhnya kami tidak memperhatikan apa
yang mereka baca." (QS Al-An'am [6]: 156).

Namun demikian, kita dapat memahami pandangan yang
menyatakan bahwa selain orang Yahudi dan Nasrani seperti
penyembah berhala non-Arab dan sebagainya, walaupun tidak
termasuk dalam kategori Ahl Al-Kitab, tetap dapat
diperlakukan sama dengan Ahl Al-Kitab.

Ini berdasarkan sebuah hadis Nabi yang diriwayatkan oleh
Imam Malik dalam kitabnya Al-Muwatththa, Bab Zakat, Hadis
ke-42, "Perlakukanlah mereka sama dengan perlakuan terhadap
Ahl Al-Kitab." Sementara ulama menyisipkan tambahan redaksi:
"tanpa memakan sembelihan mereka, dan tidak juga mengawini
wanita mereka." Kalau tambahan ini tidak dibenarkan, maka
semua izin yang berkaitan dengan Ahl Al-Kitab, berlaku pula
terhadap mereka.

Sebagian lainnya menilai hadis tersebut berstatus mursal
yakni sahabat Nabi yang mendengar atau menerima hadis
tersebut dari beliau tidak disebut dalam rentetan transmisi
riwayatnya. Dan jika demikian itu halnya maka hadis tersebut
dinilai oleh sementara pakar sebagai tidak dapat dijadikan
argumentasi keagamaan.

Sahabat Nabi Abdullah bin Umar mempunyai pendapat lain.
Beliau secara tegas melarang perkawinan seorang pria Muslim
dengan wanita Ahl Al-Kitab, dengan dalih bahwa mereka adalah
orang-orang musyrik. Ia mengatakan,

"Saya tidak mengetahui kemusyrikan yang lebih besar dari
keyakinan seorang yang berkata bahwa Tuhannya adalah Isa
atau salah seorang dari hamba-hamba Allah."

Pendapat ini tidak sejalan dengan pendapat sekaligus praktek
sahabat-sahabat Nabi lainnya seperti Khalifah Utsman, Ibnu
Abbas, Thalhah, Jabir, dan Khuzaifah, demikian pula para
pakar-pakar hukum dengan berbagai alasan, antara lain:

1. Dalam sekian banyak ayat, Al-Qur'an menyebut istilah
al-musyrikun berdampingan dengan Ahl Al-Kitab, dengan
menggunakan kata penghubung wauw yang berarti "dan."

"Orang-orang kafir dan Ahl Al-Kitab dan orang musyrik tidak
menginginkan diturunkannya suatu kebaikan kepadamu dan
Tuhanmu. (QS Al-Baqarah [2]: 105).

Kata penghubung semacam ini mengandung makna adanya
perbedaan antara kedua hal yang dihubungkan itu. Ini berarti
ada perbedaan antara musyrikun dan Ahl Al-Kitab. Demikian
juga terlihat pada QS Al-Bayyinah [98]: 1 dan 6.

Beberapa pakar tafsir, seperti Thabathaba'i dan Rasyid Ridha
berpendapat bahwa yang dimaksud dengan al-musyrikun dalam
Al-Qur'an adalah penyembah berhala yang ketika itu bertempat
tinggal di Makkah.

2. Al-Qur'an sendiri telah menguraikan sekian banyak
keyakinan. Ahl Al-Kitab, yang pada hakikatnya merupakan
kemusyrikan seperti keyakinan Trinitas, atau bahwa Uzair
demikian juga Isa adalah anak Allah, dan sebagainya. Namun
demikian, seperti terlihat dalam butir pertama di atas,
Al-Qur'an membedakan mereka dan tetap menamai kedua kelompok
tersebut sebagai Ahl Al-Kitab, bukan Musyrikun.

Al-Qur'an seperti dikemukakan pada awal uraian ini, sangat
teliti dalam redaksi-redaksinya, sehingga tidak ada peluang
untuk terjadinya kerancuan dalam istilah-istilah Ahl
Al-Kitab, Al-Musyrikun, dan Al-Kuffar.

Atas dasar itu, hampir seluruh sahabat Nabi, tabi'in,
ulama-ulama masa awal dan kontemporer tidak sependapat
dengan Abdullah Ibnu Umar.

Penulis dapat memahami pendapat tersebut dengan
memperhatikan latar belakang sahabat mulia itu, yang dikenal
sangat berhati-hati serta amat gandrung meniru Nabi dalam
segala sikap dan tindakannya. Kehati-hatian dan
kegandrungannya itulah yang menjadikan beliau begitu ketat
dengan pendapat di atas, keketatan yang tidak sejalan dengan
kemudahan yang telah dianugerahkan Al-Qur'an.

Penulis juga dapat memahami seseorang yang memfatwakan tidak
sah perkawinan pria Muslim dengan Ahl Al-Kitab, tetapi bukan
dengan alasan yang dikemukakan Ibnu Umar. Alasan yang dapat
dikemukakan antara lain kemaslahatan agama dan keharmonisan
hubungan rumah tangga yang tidak mudah dapat terjalin
apabila pasangan suami istri tidak sepaham dalam ide,
pandangan hidup atau agamanya. Mahmud Syaltut menulis dalam
kumpulan fatwanya bahwa tujuan utama dibolehkannya
perkawinan seorang Muslim dengan wanita Ahl Al-Kitab, adalah
agar dengan perkawinan tersebut terjadi semacam penghubung
cinta dan kasih sayang. Sehingga terkikis dari benak
istrinya rasa tidak simpati terhadap Islam dengan sikap baik
sang suami Muslim yang berbeda agama itu sehingga tercermin
secara amaliah keindahan dan keutamaan agama Islam.

Adapun jika sang suami Muslim terbawa oleh sang istri, atau
anaknya terbawa kepadanya sehingga mengalihkan mereka dari
akidah Islam, maka ini bertentangan dengan tujuan
dibolehkannya perkawinan, dan ketika itu perkawinan tersebut
disepakati - untuk dibubarkan.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa:

1. Sikap Al-Qur'an terhadap Ahl Al-Kitab pada dasarnya amat
positif. Tidak ada halangan sedikit pun untuk menjalin kerja
sama dan bantu-membantu dengan penganut Ahl Al-Kitab serta
penganut agama lain, dalam bidang kehidupan sosial, budaya,
dan ekonomi.

2. Kecaman yang terdapat dalam Al-Qur'an, lebih banyak
tertuju kepada orang Yahudi, dan kecaman tersebut lebih
banyak diakibatkan oleh sikap politik dan ekonomi mereka.

3. Betapapun terdapat perbedaan agama dan keyakinan, namun
keadilan harus diperlakukan terhadap semua pihak.

4. Pengertian Ahl Al-Kitab dan cakupan makna, serta
implikasinya dalam kehidupan sehari-hari - istimewa
menyangkut perkawinan dan memakan binatang halal hasil
sembelihan mereka - diperselisihkan oleh para ulama. Dengan
kata lain, tidak wajar seseorang dianggap menyimpang dari
ajaran Islam, bila ia memilih salah satu pendapat yang telah
diuraikan di atas, dan dalam saat yang sama sikap
kehati-hatian yang diambil oleh sekian banyak umat dapat
dinilai sebagai sikap terpuji.

Demikian sekelumit uraian Al-Qur'an tentang Ahl Al-Kitab. []

Catatan kaki:

{1} Baca lebih jauh Tafsir Al-Manar, Jilid VI, hlm. 428.
{2} Tafsir Al-Manar, Jilid IV, hlm. 82
{3} Lihat Tafsir Al-Manar, Jilid IV, hlm. 1773.
{4} Ahkam Al Qur'an, III, hlm. 337.
{5} Lihat majalah Al-Wa'i Al-Islam, Kuwait, Maret 1972,
Thn. VIII, No. 86.
{6} Lihat Tafsir Ibnu Katsir ketika menafsirkan
QS Al-Maidah [5]: 5.
{7} Tafsir Al-Manar, jilid VI, hlm. 185.
{8} Tafsir Al-Manar, jilid VI, hlm. 193.
{9} Mabahis At-Ta'wil, Jilid 17, hlm. 6201.